terompet dari benih sampah. botol air tak bermineral.
yang menghidupi tangantangan pemungut
sisasisa nafas dari setiap biji botol yang hampir tamat.
botol sekarat itu lalu dijual si pemungut ke penadah yang pongah,
1500 perak sekilo.
hari itu, karung dan kakinya hanya mampu menggerakan
jarum timbangan kuno ke garis ke empat,
cukuplah membuat perut berhenti sekarat, syukurnya.
botolbotol itu lalu dibeli oleh seorang bapak
yang tak kalah sekarat, oleh sekolah anaknya yang melarat,
oleh dapur isterinya yang berkarat, oleh sepatusepatu dari cina yang keparat.
botolbotol nyaris tamat itu adalah satusatunya barang
yang bisa dia beli dalam jumlah banyak,
: dengan botolbotol itu dia ingin merayakan kekalahan.
ditiuplah botolbotol itu dengan serpih doa
yang masih dia sisakan sebelum mengering menamat.
ditempelinya dengan pernik, warni,
dan segulung tenggorokan dari kertas yang menyulap
botolbotolnya menjadi sangkakala,
dia tahu, disetiap akhir kalender, bumi akan dipenuhi
suarasuara yang ingin mengalahkan ketakutan mereka pada langit.
lalu, malam ini, didengarnya teriakan dari sebiji botol,
ditiup oleh seorang anak yang harus menukar terompet
dengan pukulan ayah yang kantongnya melarat,
sebab hari tadi, karung miliknya tidak cukup setengah terisi.
bapak itu akhirnya bisa merayakan kekalahannya.
si anak terus meniup terompet. hingga dilindas pagi.
hingga terompet itu kembali menyampah, menjadi botol tak bernyawa.
Makassar, 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar