Berulang kali, Lebida’a Eyato menghasut para budak yang sedang membangun Benteng Otanaha dan Ulupahu. Benteng itu tidak boleh selesai. Harus gagal. Jika tidak, perang antara Limutu dan Hulontalo akan terus berkobar—tak pernah padam. Disebarkannya rasa cemas dan pesimistis kepada ratusan pekerja. Ke pikiran para budak yang siang-malam membuka gunung, mengeraskan batu dan kapur dengan telur malewo, memancang 361 anak tangga, mendirikan sebuah benteng yang ketika digunakan malah akan menambah kesengsaraan mereka sendiri. Di pikiran mereka terdapat bisikan yang membenarkan perkataan Lebida’a Eyato: untuk apa kita susah payah membangun benteng ini. Toh, di kerajaan seberang ada orang-orang sakti yang akan meluluhlantakan benteng ini dengan sekali tiup. Sia-sia.
Mendengar hasutan Lebida’a Eyato, para pekerja itu surut berkerja. Hilang semangat dan harapan. Perasaan sia-sia menjalar dari telinga ke otak lalu ke tubuh yang jadi ogah-ogahan bekerja. Lebida’a Eyato menang.
Heran dengan kerja para budak pekerja yang kian menurun, ributlah kerajaan Limutu. Penyakit apa gerangan yang tengah menjalar di pikiran dan tubuh para budak. Lalu diutuslah investigator kerajaan. Ditanyailah para budak perkerja yang pucat karena kekurangan harapan, pupus cita-cita. Dan tidak sulit mendapatkan jawaban dari rakyat yang tidak punya kuasa. Kesimpulan investigasi itu jelas: Lebida’a Eyato harus mempertanggungjawabkan ulahnya di depan Majelis Pemerintahan.
Lebida’a Eyato malah senang. Itulah yang ia harapkan.
Aku bosan dengan perang. Di depan pembesar negeri, Lebida’a Eyato menampar semua pembesar yang hadir di Banthayo Pobo’ide dengan kata-kata. Telak. Dikatakannya bahwa maksud dari semua kelakuannya adalah tidak lain sebagai bentuk protes dan sebuah niat untuk segera mengakhiri semua perang saudara, segala perebutan kekuasaan. Usaha pertanian rakyat terlantar, kelaparan membayang-bayang di Limutu dan Hulonthalo, semua menderita, alasan-alasan Lebida’a Eyato mengalir dan menghujam keras para pembesar negeri. Dan, sekali lagi, ia menang.
Dan tercatatlah sejarah rekonsiliasi, perdamaian tak bersyarat, dan rekonstruksi negeri paling masyur dalam catatan sejarah Gorontalo: Lo’u Duluwo Limo Lo Pahala’a.
Usang
Nyaris 16 abad kemudian, usaha dan keberanian itu, kini telah tenggelam bersama cincin kembar Popa dan Eyato di danau yang semakin surut. Sementara, ketulusan dan kewibawaan juga kian usang seperti tembok tiga benteng yang menemani danau limboto.
Ini dia tanah yang dipersatukan Lebida’a Eyato berabad silam. Tanah yang masih penuh budak. Budak dan tuan belanja. Kebudayaan kalah telak oleh suara sirine mobil patwal yang terus-menerus meraung-raungkan kekuasaan. Pemimpin-pemimpin kekanak-kanakan yang gemar bermain drama dengan rakyat sebagai penonton yang—mau tak mau—harus membayar. Agama hanya menjadi alat politik yang bertenger di baliho-baliho dan program-program lucu. Mungkin mereka sudah lupa paduma: agama wohi titalu | Lipu pe’i hulalu.
Ya, sebagai penonton, kita hanya dapat menyaksikan, terharu, memaki, dan marah. Menyaksikan hutan dijual, kemiskinan dipelihara, proyek mubazir dilestarikan, ruko-ruko ditanam, baliho di panen, dan banjir dikoleksi. Sebuah sinetron dengan episode yang lebih panjang dari “Tersanjung” dan “Cinta Fitri”. Sialnya, kita hanya bisa terus menonton tanpa diberi kesempatan untuk mematikan televisi.
Jagung sebagai trade mark negeri Eyato tinggal menjadi catatan kaki ekonomi dan semacam nostalgia akan kegagalan yang punya citra baik. Tanah yang dulu begitu begitu rindang, kini lebih subur ditumbuhi ruko dan mall yang lebih cepat berkembang daripada kantong masyarakatnya. Ikan-ikan semakin lari ke laut dalam, sementara nelayan masih bertahan dengan kapal-kapalnya yang bermesin dangkal. Sekali-kali, patutlah kita bertanya, masih berapa tahun lagi kita bisa menikmati nike saat bulan purnama? Dan, manggaba’i, dimana dia akan tinggal setelah rumahnya kekurangan pasokan air dari 18 anak sungai dan terlanjur penuh dengan pupuk dari sawah-sawah yang juga hanyut?
Kendaraan pribadi terus bertambah sementara stasiun bahan bakar tidak henti-hentinya dipenuhi antrean yang memburu bensin. Maka dimana ada SPBU, disitu ada lusinan depot. Sementara para pemimpin diam saja menyaksikan rakyatnya yang menjadi sangat temperamen karena tidak tahu lagi harus marah pada siapa. Orang-orang yang nyaris frustasi. Untuk menghibur diri dengan main laptop pun menjadi sulit karena batere laptop bocor sementara listrik di rumah selalu mati.
Tapi jika ini terlalu memusingkan, jangan khawatir. Kita sudah ketambahan mall yang bisa membuatmu melupakan semua masalah kecuali kenyataan bahwa dompet semakin tipis. Ayo belanja, belanja, dan belanja!
Saat menulis ini, pikiran saya seperti remuk, sayup-sayup terdengar tuja’i. Sebuah teguran dari Baate lo Panggulo kepada Raja Eyato agar senatiasa berhati-hati pada segala yang asing: orang, p(em)ikiran, dan hati yang asing.
Dahayi bolo o awota (jaga jangan sampai digauli)
Wawu bolo o bolota (dan jangan samapi dicampuri)
Lo ta tingayi motota (oleh orang-orang yang sama-sama pintar)
Dahayi bolo o wakungga (jaga jangan sampai tersusupi)
Lo ta tinggayi modungga (oleh orang-orang yang sama ahli)
Wonu wahu o paduma (kecuali teguh dan punya pedoman)
Janji ngongolobunga (berjanji sama-sama terkubur)
Mungkin tuja’i itu untuk kita. Yang selalu terpukau dengan sesuatu yang “asing”. Selamat Hari Patriotik!