Teras

Senin, 23 Januari 2012

Eyato Dan Negerinya yang Frustasi

Berulang kali, Lebida’a Eyato menghasut para budak yang sedang membangun Benteng Otanaha dan Ulupahu. Benteng itu tidak boleh selesai. Harus gagal. Jika tidak, perang antara Limutu dan Hulontalo akan terus berkobar—tak pernah padam. Disebarkannya rasa cemas dan pesimistis kepada ratusan pekerja. Ke pikiran para budak yang siang-malam membuka gunung, mengeraskan batu dan kapur dengan telur malewo, memancang 361 anak tangga, mendirikan sebuah benteng yang ketika digunakan malah akan menambah kesengsaraan mereka sendiri. Di pikiran mereka terdapat bisikan yang membenarkan perkataan Lebida’a Eyato: untuk apa kita susah payah membangun benteng ini. Toh, di kerajaan seberang ada orang-orang sakti yang akan meluluhlantakan benteng ini dengan sekali tiup. Sia-sia.

Mendengar hasutan Lebida’a Eyato, para pekerja itu surut berkerja. Hilang semangat dan harapan. Perasaan sia-sia menjalar dari telinga ke otak lalu ke tubuh yang jadi ogah-ogahan bekerja. Lebida’a Eyato menang.

Heran dengan kerja para budak pekerja yang kian menurun, ributlah kerajaan Limutu. Penyakit apa gerangan yang tengah menjalar di pikiran dan tubuh para budak. Lalu diutuslah investigator kerajaan. Ditanyailah para budak perkerja yang pucat karena kekurangan harapan, pupus cita-cita. Dan tidak sulit mendapatkan jawaban dari rakyat yang tidak punya kuasa. Kesimpulan investigasi itu jelas: Lebida’a Eyato harus mempertanggungjawabkan ulahnya di depan Majelis Pemerintahan.

Lebida’a Eyato malah senang. Itulah yang ia harapkan.

Aku  bosan dengan perang. Di depan pembesar negeri, Lebida’a Eyato menampar semua pembesar yang hadir di Banthayo Pobo’ide dengan kata-kata. Telak. Dikatakannya bahwa maksud dari semua kelakuannya adalah tidak lain sebagai bentuk protes dan sebuah niat untuk segera mengakhiri semua perang saudara, segala perebutan kekuasaan. Usaha pertanian rakyat terlantar, kelaparan membayang-bayang di Limutu dan Hulonthalo, semua menderita, alasan-alasan Lebida’a Eyato mengalir dan menghujam keras para pembesar negeri. Dan, sekali lagi, ia menang.

Dan tercatatlah sejarah rekonsiliasi, perdamaian tak bersyarat, dan rekonstruksi negeri paling masyur dalam catatan sejarah Gorontalo: Lo’u Duluwo Limo Lo Pahala’a.

Usang
Nyaris 16 abad kemudian, usaha dan keberanian itu, kini telah tenggelam bersama cincin kembar Popa dan Eyato di danau yang semakin surut. Sementara, ketulusan dan kewibawaan juga kian usang seperti tembok tiga benteng yang menemani danau limboto.

Ini dia tanah yang dipersatukan Lebida’a Eyato berabad silam. Tanah yang masih penuh budak. Budak dan tuan belanja. Kebudayaan kalah telak oleh suara sirine mobil patwal yang terus-menerus meraung-raungkan kekuasaan. Pemimpin-pemimpin kekanak-kanakan yang gemar bermain drama dengan rakyat sebagai penonton yang—mau tak mau—harus membayar. Agama hanya menjadi alat politik yang bertenger di baliho-baliho dan program-program lucu. Mungkin mereka sudah lupa paduma: agama wohi titalu | Lipu pe’i hulalu.

Ya, sebagai penonton, kita hanya dapat menyaksikan, terharu, memaki, dan marah. Menyaksikan hutan dijual, kemiskinan dipelihara, proyek mubazir dilestarikan, ruko-ruko ditanam, baliho di panen, dan banjir dikoleksi. Sebuah sinetron dengan episode yang lebih panjang dari “Tersanjung” dan “Cinta Fitri”. Sialnya, kita hanya bisa terus menonton tanpa diberi kesempatan untuk mematikan televisi.

Jagung sebagai trade mark negeri Eyato tinggal menjadi catatan kaki ekonomi dan semacam nostalgia akan kegagalan yang punya citra baik. Tanah yang dulu begitu begitu rindang, kini lebih subur ditumbuhi ruko dan mall yang lebih cepat berkembang daripada kantong masyarakatnya. Ikan-ikan semakin lari ke laut dalam, sementara nelayan masih bertahan dengan kapal-kapalnya yang bermesin dangkal. Sekali-kali, patutlah kita bertanya, masih berapa tahun lagi kita bisa menikmati nike saat bulan purnama? Dan, manggaba’i, dimana dia akan tinggal setelah rumahnya kekurangan pasokan air dari 18 anak sungai dan terlanjur penuh dengan pupuk dari sawah-sawah yang juga hanyut?

Kendaraan pribadi terus bertambah sementara stasiun bahan bakar tidak henti-hentinya dipenuhi antrean yang memburu bensin. Maka dimana ada SPBU, disitu ada lusinan depot. Sementara para pemimpin diam saja menyaksikan rakyatnya yang menjadi sangat temperamen karena tidak tahu lagi harus marah pada siapa. Orang-orang yang nyaris frustasi. Untuk menghibur diri dengan main laptop pun menjadi sulit karena batere laptop bocor sementara listrik di rumah selalu mati.

Tapi jika ini terlalu memusingkan, jangan khawatir. Kita sudah ketambahan mall yang bisa membuatmu melupakan semua masalah kecuali kenyataan bahwa dompet semakin tipis. Ayo belanja, belanja, dan belanja!

Saat menulis ini, pikiran saya seperti remuk, sayup-sayup terdengar tuja’i. Sebuah teguran dari Baate lo Panggulo kepada Raja Eyato agar senatiasa berhati-hati pada segala yang asing: orang, p(em)ikiran, dan hati yang asing.
Dahayi bolo o awota (jaga jangan sampai  digauli)
Wawu bolo o bolota (dan jangan samapi dicampuri)
Lo ta tingayi motota (oleh orang-orang yang sama-sama pintar)
Dahayi bolo o wakungga (jaga jangan sampai tersusupi)
Lo ta tinggayi modungga (oleh orang-orang yang sama ahli)
Wonu wahu o paduma (kecuali teguh dan punya pedoman)
Janji ngongolobunga (berjanji sama-sama terkubur)

Mungkin tuja’i itu untuk kita. Yang selalu terpukau dengan sesuatu yang “asing”. Selamat Hari Patriotik!

Selasa, 17 Januari 2012

Sajak: Poliyama Lo Huliyaliyo

ketika pemimpin diberi segenggam langit,
harusnya ia diajar perihal rasi
yang tidak pernah berkhianat pada nasib
yang menggelantung kokoh seumpama lelaki
gembala di padang langit, memegang tongkat dan terompah
memandu domba yang kerap tersesat
lupa rumah, hilang arah, lalu menjarah.

saat pemimpin diserahi sehampar bumi,
hendaklah ia berdiri seperti biduk bertiang tujuh
tegar. tak pernah meninggalkan utara
dan amanah yang diberikan langit padanya

sebab, jika tidak, ia akan berubah jadi beruang
kekar dan berang
juga tak ingat jalan pulang.


16012012

Rabu, 04 Januari 2012

Sajak: Jauh

Jaga dia, dalam sungai saat deras
saat lengan tak terlampau gegas

Jaga dia, bila debu beterbangan
membutakan. melenakan.


2012

Senin, 02 Januari 2012

Tonight I Can Write The Saddest Lines by Pablo Neruda

Tonight I can write the saddest lines.

Write, for example,'The night is shattered
and the blue stars shiver in the distance.'

The night wind revolves in the sky and sings.

Tonight I can write the saddest lines.
I loved her, and sometimes she loved me too.

Through nights like this one I held her in my arms
I kissed her again and again under the endless sky.

She loved me sometimes, and I loved her too.
How could one not have loved her great still eyes.

Tonight I can write the saddest lines.
To think that I do not have her. To feel that I have lost her.

To hear the immense night, still more immense without her.
And the verse falls to the soul like dew to the pasture.

What does it matter that my love could not keep her.
The night is shattered and she is not with me.

This is all. In the distance someone is singing. In the distance.
My soul is not satisfied that it has lost her.

My sight searches for her as though to go to her.
My heart looks for her, and she is not with me.

The same night whitening the same trees.
We, of that time, are no longer the same.

I no longer love her, that's certain, but how I loved her.
My voice tried to find the wind to touch her hearing.

Another's. She will be another's. Like my kisses before.
Her voide. Her bright body. Her inifinite eyes.

I no longer love her, that's certain, but maybe I love her.
Love is so short, forgetting is so long.

Because through nights like this one I held her in my arms
my sould is not satisfied that it has lost her.

Though this be the last pain that she makes me suffer
and these the last verses that I write for her.


***
Dulu, waktu pertama menjadi mahasiswa (a.k.a Maba), seorang senior memperkenalkanku pada sebuah sajak yang dia terjemahkan, dari seorang penyair yang sama sekali tidak pernah ku dengar. Sajak terjemahan itu berjudul, "Aku bisa menulis larik-larik paling lirih malam ini". Aku tidak memerlukan waktu lama untuk jatuh cinta pada sajak itu. Dengan instrumen "Elegance of Pachebel", larik-larik itu seolah bisa masuk disetiap bagian-bagian sentimental dalam diriku. Gila. Untuk pertama kalinya, aku jatuh cinta pada sajak.
Dari titik itu, aku mulai "menseriusi" "larik-larik". Mulai suka "merayunya", mengajaknya jalan-jalan dalam setiap petualangan-petualangan kecilku.
Hampir 4 tahun sudah hingga malam ini, saat googling, aku tanpa sengaja melihat lagi puisi itu. Meski dengan versi yang beda (yang dulunya juga sangat ku suka). Saat membacanya lagi, rasa-rasanya, ya, aku bisa menulis larik-larik paling lirih malam ini...:-)

Sajak: Ode Buat Sebiji Terompet

yang ditiup malam tadi. hingga dilindas pagi.

terompet dari benih sampah. botol air tak bermineral.
yang menghidupi tangantangan pemungut
sisasisa nafas dari setiap biji botol yang hampir tamat.

botol sekarat itu lalu dijual si pemungut ke penadah yang pongah,
1500 perak sekilo.
hari itu, karung dan kakinya hanya mampu menggerakan
jarum timbangan kuno ke garis ke empat,
cukuplah membuat perut berhenti sekarat, syukurnya.

botolbotol itu lalu dibeli oleh seorang bapak
yang tak kalah sekarat, oleh sekolah anaknya yang melarat,
oleh dapur isterinya yang berkarat, oleh sepatusepatu dari cina yang keparat.
botolbotol nyaris tamat itu adalah satusatunya barang
yang bisa dia beli dalam jumlah banyak,
: dengan botolbotol itu dia ingin merayakan kekalahan.

ditiuplah botolbotol itu dengan serpih doa
yang masih dia sisakan sebelum mengering menamat.
ditempelinya dengan pernik, warni,
dan segulung tenggorokan dari kertas yang menyulap
botolbotolnya menjadi sangkakala,
dia tahu, disetiap akhir kalender, bumi akan dipenuhi
suarasuara yang ingin mengalahkan ketakutan mereka pada langit.

lalu, malam ini, didengarnya teriakan dari sebiji botol,
ditiup oleh seorang anak yang harus menukar terompet
dengan pukulan ayah yang kantongnya melarat,
sebab hari tadi, karung miliknya tidak cukup setengah terisi.

bapak itu akhirnya bisa merayakan kekalahannya.
si anak terus meniup terompet. hingga dilindas pagi.
hingga terompet itu kembali menyampah, menjadi botol tak bernyawa.


Makassar, 2011