Teras

Kamis, 03 November 2011

Ruang Tunggu


Aku tiba pukul dua belas lewat dua.
Di bandara tua yang sudah lama minta pensiun. Karena tak sanggup lagi menjadi tuan rumah yang ramah bagi tamutamu yang turun dari langit. Bandara itu masih lengang sepi, hanya ada petugas yang menyungging senyum dengan senyum yang lebih mirip dayung daripada perahu. Tak apalah, ku hibur hatiku yang menggerutu, mungkin upah menjadi buruh menengah tidak cukup untuk menghadapi luapan riuh hidup yang semakin mirip angin di pantai kota ini, kota yang dipeluk dua lengan dari tetumpuk tanah.

Pintu pendeteksi logam menegurku dari percakapan heboh dengan suara tak dikenal di kepalaku. Seorang petugas, wanita setengah tua, menodong pinggul dan kantongkantongku dengan tongkat sihir yang bisa memberitahunya perihal logamlogam yang menakutkan. Dia terseyum. Pertanda bahwa tongkat sihirnya memberitahu bahwa aku orang baik. Akupun tersenyum kepada wanita itu. Dengan perahu paling lengkung. Tanda bahwa ia bukanlah nenek sihir, cuma seorang ibu yang harus membagi partikelpartikel hidupnya antara anakanak dan suaminya yang tua dengan bandara ini yang tak kalah renta.

Di ruang tunggu, sudah menunggu banyak deret kursi bermantel hitam. Saling berhadapan. Dengan jarak-hadap yang sangat irit. Mungkin bandara tua ini ingin mengajarkan tamunya untuk saling menyapa dengan tutur, bukan hanya dengan lutut yang saling bentur.

Mutiara Waiting Room
Ruang tunggu yang bernuansa hollywen itu perlahan mulai menyempit, mulai dipenuhi karbondioksida sisa pembakaran dari hidunghidung yang mulai memenuhi ruangan ini, seperti pasar malam. Aku mulai merindukan suasana yang lampau—yang sepuluh menit lalu. Aku mulai merindukan fragmen ketika aku bisa menikmati ruang tunggu ini tanpa menunggu siapasiapa. Tanpa ditunggu siapasiapa. Mungkin titik dan dimensi seperti ini adalah dimensi yang sama yang pernah dirasakan Adam, sampai dia menyadari bahwa dia butuh teman bicara selain pikiran, malaikat, dan Tuhan yang Maha Berfirman. Tapi bedanya, aku saat ini adalah vice-versa nya. Versi terbaliknya. Dari dunia yang penuh Hawa dan manusia, ingin merasakan dunia yang seperti ruang tunggu ini: hanya persinggungan kodrat fisika yang tidak 'benarbenar' menunggu atau ditunggu. Tapi aku akhirnya kalah dengan waktu yang pelit untuk memberiku kesempatan dalam rentang lengannya yang panjang. Ruang tunggu kian sesak. Pengumuman bersuara berat membuat penumpang bertujuan sama denganku, mengeluh. Aku mafhum. Negara yang aku tempati memang penghasil karet terbesar di dunia.

Nyaris dua jam. Akhirnya, merek pesawat yang akan ku tumpangi disebutsebut.
Karcis di robek. Udara di luar sedikit mendung. Sebelum naik, aku menghambur pandangan. Ke lenganlengan bumi. Lenganlengan yang memeluk kota ini. Aku suka gunung. Satusatunya hal yang, dalam perjalanan singkat ini, ku sukai dari kota ini. Sebab, di kota yang ku tuju, gunung berada jauh dari pandang, tersembunyi di balik belukar dari percampuran besi, kerikil, pasir, air, dan semen.

Tahutahu, tubuhku dalam beberapa menit sudah berada di kursi pesawat yang, lagilagi, tua. Bersama seorang bapak paruh baya beruban dan saudaranya yang kirakira seumuran denganku. Sebenarnya, aku meminta duduk di kursi dekat jendela. Tapi bapak itu sudah duduk disitu, lebih dulu. Ku biarkan saja. Membiarkan bapak itu menikmati keringatnya untuk naik pesawat yang, sepertinya, jarang bisa jangkau oleh dompet rumahnya.

Sepanjang jalan yang tak berambu, aku terus menulis. Menulis, entah untuk apa dan siapa.
3.29 sore, suara wanita dari microphone pesawat memberitahu bahwa burung besi yang aku tumpangi akan segera bertenger.


Mutiara-Hasanuddin, 0201111

Tidak ada komentar:

Posting Komentar