Teras

Kamis, 24 November 2011

Guru: Sosok yang Direduksi

Syahdan, disebuah negeri yang bernama Indonesia diadakan lomba membuat gajah menangis. Berbagai lapisan dan profesi rakyat negeri itu tumpah ruah mendaftar dan ikut serta dalam lomba nasional itu. Satu persatu peserta mencoba membuat sang gajah menangis dengan segala cara, namun alih-alih menangis gajah itu malah berjingkrak-jingkrak seperti kegirangan. Sampai tibalah giliran seorang bapak berpakaian kopri dan berpeci. Dengan langkah tidak yakin, dia berjalan ke arah gajah dan membisikan sesuatu ketelinga gajah itu. Tak dinyana, gajah itu menitikkan airmata. Menangis. Ternyata, bapak berpeci itu hanya membisikkan empat kata: “Gajah... aku seorang guru”.

Anekdot tersebut mungkin terlalu berlebihan. Namun cukup untuk membuat kita bertanya, seburuk itukah keadaan guru dimata kita? Terlebih di tengah pusaran problematika pendidikan Indonesia, peran dan fungsi guru sepertinya terus mengalami reduksi yang sifatnya sistemik. Padahal kunci keberhasilan pembangunan nasional terletak pada pendidikan dan kunci keberhasilan pendidikan terletak pada guru. Guru sebagai tulang punggung pendidikan telah dibentuk sedemikian rupa menjadi seperti pekerja pabrik yang harus menghasilkan komoditi atau ‘barang bagus’ yang punya nilai tambah, kompetensi, berstandar tinggi, dan laku di pasaran. Ruh guru sebagai sosok yang luhur terus luntur. Tugas mulianya sebagai seorang yang padanya pena ilmu pengetahuan dititipkan bergeser menjadi tugas untuk mengenyangkan perut buncit pasar. Apa yang terjadi dengan mereka?

Pengreduksian Peran dan Fungsi
Untuk menjawab pertanyaan sederhana itu, mari kita lihat beberapa fakta objektif tentang guru. Hal pertama yang patut kita lihat adalah telah terjadi pergeseran filosofis akan makna dan kedudukan guru. Kita perlu menyadari bahwa secara formal, istilah guru sekarang telah sempitkan maknanya dari terminologi pendidikan di Indonesia. Kata dan makna guru yang selama ini kita kenal telah digeser menjadi ‘pendidik’. Dalam UU Sisdiknas kata ‘pendidik’-lah yang dipakai untuk mengkonsepsikan sosok ‘guru’. Padahal secara etimologis, dalam bahasa Sanskerta, guru lebih dari sekedar pengajar. Makna guru adalah seorang ahli, konselor, saga, sahabat, pendamping, seniman, bahkan pemimpin spiritual. Oleh Anita Lie, seorang aktivis pendidikan,  guru dimaknai sebagai seseorang yang membebaskan manusia dari kegelapan karena ketidaktahuan dan ketidaksadaran.

Dalam Islam guru ditempatkan pada posisi yang sangat mulia dan bermatabat. Seruan untuk menghormati guru (atau dalam istilah islam disebut Da’i) walau ia hanya mengajarkan kita satu ayat menunjukan bahwa betapa terhormatnya menjadi seorang guru. Guru dalam Islam tidak hanya sebagai seorang pendidik (Muaddib), namun juga sebagai seorang pelurus informasi (Musaddid), Pembaharu (Mujaddid), Pemersatu (Muwahid), dan lebih dari itu, guru adalah sosok Pejuang (Mujahid). Maka sangat memprihatinkan ketika sosok pembebas itu kemudian dipermak oleh sistem menjadi profesi yang tugasnya hanya mencetak peserta didik yang dapat bersaing secara ekonomis. Darmaningtyas (Kompas, 2/05/08) bahkan menjelaskan bahwa istilah-istilah yang dipakai dalam dunia pendidikan sekarang  sepenuhnya adalah istilah ekonomi dan korporasi. Makna dan filosofi guru-pun akhirnya mengalami degradasi secara sktruktural dan kultural. Luruh digerus zaman.

Kondisi yang tidak kalah memprihatinkan adalah bagaimana image guru dan kaitanya dengan sistem pendidikan keguruan serta rekruitmen guru. Sudah menjadi rahasia umum, menjadi seorang guru di Indonesia mungkin adalah pilihan terakhir bagi lulusan SMA atau perguruan tinggi. Guru dipandang sebagai pekerjaan kelas dua. Hal ini terbukti dari data yang menyebutkan bahwa lebih dari 60% guru di Indonesia adalah orang yang semasa sekolah rata-rata hanya menduduki posisi bottom-ten ranking di kelas. Bandingkan dengan negara-negara seperti Jepang, Findlandia dan Belanda yang menempatkan profesi guru sebagai profesi yang sangat selektif dan bergengsi. Jenjang pendidikan dan proses rekruitmennya benar-benar dirancang untuk mempersiapkan guru yang cerdas, inovatif, dan mengerti filosofi seorang guru.

Melihat kembali sejarahnya Sekolah Pendidikan Guru (SPG), atau SGA, SGO tampaknya merupakan model yang cukup berkualitas untuk memenuhi kebutuhan guru pada masanya.  Peleburan sekolah-sekolah ini menjadi SMA biasa, dan menaikkan derajat pendidikan guru di tingkat pendidikan tinggi (IKIP) juga suatu upaya yang cukup baik untuk membuat kandidat guru dapat mempunyai gelar Sarjana. Namun perubahan IKIP menjadi Universitas  membuat pendidikan keguruan semakin tidak jelas arahnya.

Pendidikan keguruan yang tidak komperhensif ditambah dengan rekruitmen yang tidak jelas dan tidak selektif tersebut akhirnya berdampak langsung pada kualitas guru yang rendah. Dari 2,7 juta guru di Indonesia, sekitar 1,3 juta atau 50% belum layak mengajar. Dalam hasil survei dari Human Development Index (HDI) juga disebutkan bahwa sebanyak 60% guru SD, 40% guru SLTP, 43% guru SMU, dan 34% guru SMK belum memenuhi standardisasi mutu pendidikan nasional. Kurangnya kelayakan profesionalisme dan kompetensi guru yang dimaksud dalam hal ini merupakan kemampuan Guru dalam penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam, yakni kemampuan dalam menguasai ilmu, jenjang dan jenis pendidikan yang sesuai.

Berbagai kendala yang dihadapi sekolah terutama di daerah luar kota, umumnya mengalami kekurangan tenaga guru yang sesuai dengan kebutuhan. Kebutuhan terhadap subjek atau bidang studi yang sesuai dengan latar belakang guru. Sekolah terpaksa menempuh kebijakan yang tidak popular bagi anak, guru mengasuh pelajaran yang tidak sesuai bidangnya. Dari pada jam pelajaran tidak ada yang mengisi, lebih baik ada guru yang bisa mendampingi dan mengarahkan belajar di kelas. Hal ini terbukti dari hasil temuan yang menunjukkan 17,2% guru di Indonesia mengajar bukan pada bidang keahlian mereka (Toharuddin, Oktober 2005). Singkatnya, proses pendidikan, perekrutan, dan penempatan Guru di Indonesia masih sangat kacau.
Kondisi memprihatinkan itu akhirnya diperparah oleh rendahnya tingkat kesejahteraan guru di Tanah Air. Guru yang kemudian diklasifikasikan menjadi Guru PNS dan Guru Non-PNS atau  honorer (guru kontrak, guru bantu, guru sukarelawan). Masing-masing klasifikasi kemudian mempengaruhi tingkat gaji dan tunjangan yang diberikan kepada mereka. Namun sayangnya pengklasifikasian tersebut tidak berdasarkan standar kemampuan dan keahlian yang jelas. Sertifikasi pun dibuat sebagai jalan pintas untuk menutupi kekacauan perekrutan guru sekaligus sebagai syarat untuk memperoleh kenaikan gaji. Menaikan tingkat kesejahteraan guru memang merupakan salah satu jalan keluar untuk meningkatkan perhatian, fokus, dan kualitas guru terhadap  pendidikan bangsa. Akan tetapi hal tersebut janganlah dipandang sebagai satu-satunya alasan rendahnya kualitas pendidikan negeri ini.

Guru sebagai Korban
Terakhir, pereduksian peran dan fungsi Guru yang tengah terjadi tentu tidak dapat kita lepaskan dari sistem besar yang tengah menggerogoti kehidupan bangsa ini. Sistem yang berorientasi pada keuntungan materil dan jauh dari nilai-nilai luhur bangsa dan agama melahirkan paradigma pendidikan yang tidak lagi melihat pendidikan sebagai usaha untuk membebaskan dan memerdekakan. Akan tetapi pendidikan tidak lebih merupakan komoditas yang dapat dijual dan diperdagangkan. Sistem pendidikan nasional, kurikulum, dan pendanaan pendidikan menjadi korban utama arus marketisasi tersebut.

Guru sebagai bagian dari sistem tersebut juga merupakan korban langsung dari penyakit yang sedang mendera pendidikan bangsa ini. Untuk memperbaiki kualitas pendidikan nasional yang tidak jua menunjukan perbaikan yang signifikan, sudah sepantasnya Guru mendapat porsi yang lebih dalam mengembalikan kembali peran dan fungsi luhurnya. Menghidupkan kembali istilah ‘Guru’ baik secara maknawi dapat mengembalikan lagi ruh guru yang kian hilang. Pembenahan sistem pendidikan dan perekrutan guru serta penjaminan kesejahteraan bagi guru merupakan sebuah keharusan yang mendesak.

Penghormatan dan revitalisasi guru secara struktural dan kultural mutlak diperlukan jika bangsa ini benar-benar ingin memperbaiki jiwanya!



(Tulisan ini pernah ditampilkan dalam event Wajah Muslim Indonesia 2010. Saya posting kembali untuk memperingati Hari Guru pada hari ini, 25 Nov 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar