ADALAH Bus Hulothalangi, bus kuning-biru yang dua tahun terakhir mondar-mandir di jalan-jalan utama kota Gorontalo. Dengan penampilan yang elegan, bus transit bantuan pemerintah pusat ini menjadi ‘andalan’ baru pemerintah Kota Gorontalo dalam kebijakan transportasi publiknya. Ongkosnya yang sangat terjangkau, trayek yang teratur, keamanan dan kenyamanan yang memadai, dan ketersediaan fasilitas penunjang yang cukup lengkap seolah merupakan jawaban atas segala kritik terhadap ongkos, masalah trayek, dan keamanan yang dimiliki oleh moda transportasi nomor satu Gorontalo: bentor.
Menyoal masalah transportasi di Kota Gorontalo, hingga beberapa tahun lalu sarana angkutan umum di Kota Gorontalo hanya dilayani oleh AKAP dan AKDP untuk perjalanan dari dalam kota menuju keluar Kota Gorontalo dan sebaliknya. Sedangkan untuk perjalanan dalam kota dilayani oleh bentor dan bendi saja. Padahal, bentor dan bendi belum dianggap sebagai angkutan untuk umum yang baik karena rute pelayanannya yang tidak teratur sehinga mengakibatkan ketidakteraturan tatanan transportasi Kota Gorontalo.
Walaupun dari segi keselamatanpun, bentor belum memenuhi standar keselamatan berkendara dan peraturan yang menjadi pegangan operasionalnya. Tetapi fleksibilitas, aksesibilitas, dan kemudahan-kemudahan lain yang dimiliki bentor akhirnya menjadikan bentor begitu diminati. Kendaraan beroda tiga ini pun menggeser hingga mematikan operasi angkutan perkotaan lainnya yang dianggap kurang fleksibel (waktu tunggu lama dan tidak door-to-door sevice). Permintaan dan minat masyarakat yang besar ini akhirnya membuat produksi bentor tak terbendung. Dalam sehari, 250-300 bentor diproduksi.
![]() |
Bus Hulonthalangi (sumber: rizkydarise.blogspot.com) |
Pertambahan jumlah bentor yang begitu pesat memicu pemerintah agar membatasi produksi bentor di Gorontalo utamanya di Kota Gorontalo. Berbagai upaya dan kebijakan coba diterapkan untuk membatasi jumlah bentor. Terakhir, pada tahun 2010, Kota Gorontalo terpilih menjadi salah satu pilot project pengembangan sistem transit yang dikembangkan pemerinta pusat dan daerah. Diluncurkanlah Bus Trans Hulonthalangi sebagai alat transportasi perkotaan yang efektif dan efisien di Kota Gorontalo. Dengan tarif Rp. 2000, Bus Trans Hulontalangi diharapkan dapat menjadi alat transportasi massal yang melayani penumpang dengan tarif yang murah, aman, dan nyaman.
Namun, dalam dua tahun masa operasinya, Bus Trans Hulonthalangi belum menampakan ‘gigi’nya sebagai moda transportasi publik yang handal di Gorontalo. Dalam pengamatan penulis, bus ini malah lebih sering dipakai sebagai bus “parawisata” atau bus keliling-keliling kota ketimbang tujuan awalnya sebagai bus transit. Pertanyaan kemudian adalah bagaimana efektivitas dan efesiensi Bus transit Hulonthalangi sebagai alat transportasi publik di Gorontalo? Apakah bus model ini sudah pas dan tepat untuk kondisi Kota Gorontalo? Dan apakah kehadiran bus ini dapat menggeser alat transportasi seperti bentor?
Dari hasil pengamatan (dengan siswa, mahasiswa, pegawai, dan masyarakat umum sebagai sampel) berdasarkan frekuensi penggunaan bus perminggu terlihat bahwa pengguna terbanyak Bus Transit Hulonthalangi adalah siswa. Menyusul mahasiswa dan pegawai. Sementara masyarakat umum hanya sekitar 3% dari responden yang menggunakan Bus Hulonthalangi. Diantara pengguna tersebut, 46% menggunakan Bus Hulonthalangi sebagai moda transportasi pengganti bentor dengan 23% diantaranya adalah siswa. Sementara, 33% dari responden menggunakan Bus Trans Hulonthalangi untuk tujuan rekreasi/jalan-jalan. Dari sini terlihat bahwa Bus Hulothangi oleh persepsi mayoritas masyarakat Kota Gorontalo terhadap fungsi moda transportasi ini masih sangat terbatas. Kebanyakan masyarakat belum mengetahui maksud dan tujuan diadakannya moda transportasi ini. Sosialisasi yang minim membuat banyak masyarakat yang masih bertanya-tanya tentang peruntukan Bus Hulonthalangi ini.
Padalah, dengan pertumbuhan fisik Gorontalo yang pesat, arus datang manusia yang besar, dan meningkatnya jumlah kendaraan seharusnya turut diikuti oleh meningkatnya kesadaran pemerintah dan masyarakat akan pilihan pada transportasi. Asusmsi bahwa “masih lama Gorontalo akan macet” seharusnya sudah dibuang jauh-jauh. Sebelum Gorontalo dibanjiri kendaraan pribadi plus bentor dan semuanya menjadi semakin kompleks. Maka sedari sekaranglah kesadaran itu harus dibangun.
Tidak cukup dengan membentuk kesadaran sedari awal, sistem yang dibangun pun haruslah tepat, mudah, dan integratif. Tepat dalam artian sesuai dengan kondisi geografis Gorontalo, mudah di akses, dan saling berintegrasi antar satu dan lainnya. Salah satu kekurangan dari Bus Hulonthalangi adalah sistemnya yang seolah berdiri sendiri. Tidak terintegrasi dengan moda transportasi lainnya seperti angkutan kota dan bentor. Sehingga bus ini oleh para abang bentor dan supir angkutan lebih dilihat sebagai “saingan” daripada “teman”. Bentor, angkutan, dan Bus Hulonthalangi seharusnya tidak berada dalam kerangka substitusi, tapi komplementer. Dari sisi pengguna, integrasi sistem transportasi akan mempermudah masyarakat pengguna yang ingin berpindah atau menyambung tujuan ke daerah yang tidak memiliki trayek bus.
Selanjutnya, optimalisasi infrastruktur pendukung sistem Bus Hulonthalangi seperti halte patut dilakukan. Karena banyak (dari hasil penelitian sekitar 31%) pengguna yang mengeluhkan masalah halte. Baik karena jarak dari tempat tinggalnya, atau karena kondisi halte yang tidak kondusif karena terik atau hujan. Jika halte ini dibuat nyaman, hal ini akan dapat meningkatkan jumlah pengguna bus. Bahkan halte yang nyaman dapat digunakan sebagai media sosialisasi (melalui pamflet atau selebaran-selebaran) terkait masalah lalu lintas dan transportasi.
Terakhir, memperhatikan kinerja dan operasionalisasi Bus Transit Hulonthalangi dua tahun ini, seharusnya sudah membawa sedikit perubahan terhadap pola penggunaan transportasi masyarakat Gorontalo. Butuh kerja keras dan konsisten untuk menciptakan sebuah sistem transportasi yang handal dan integral. Jika tidak, maka bus ini hanya akan menjadi sekedar proyek yang tidak bermanfaat apa-apa bagi masyarakat. Sebelum terlambat, mari berbenah!
(Tulisan ini pernah dimuat di Jurnal Kebudayaan Tanggomo edisi III, Agustus-Oktober 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar