Untuk kali kedua, saya melewatkan acara unik dan berkesan yang sering dilakukan oleh teman-teman di Komunitas Sastra Tanpa Nama (KSTN) Gorontalo. Untuk kali kedua, saya hanya bisa membaca reportase dan sekeranjang foto-foto tentang betapa mengasyikkannya piknik ini. Tapi sudahlah, saya hanya ingin sedikit berbagi tentang kegiatan para tukang puisi di Gorontalo ini. Berikut reportasenya.
***
***
Sehelai kertas terlipat diletakkan begitu saja di meja marmer, seorang lelaki baru saja menuliskan sesuatu di sana, tak lama kemudian rekannya menyusul, gantian menuliskan sesuatu lagi, terus hingga berganti beberapa orang.
Langit senja kian merah merekah oleh matahari yang hendak tenggelam, Kamis (29/9),di tepi danau Limboto, tepatnya di Museum pendaratan Soekarno, Desa Iluta, Kabupaten Gorontalo, sembilan anak muda bergantian menyambangi sehelai kertas, baris demi baris puisi mereka torehkan.
Mereka adalah sekelompok penyair muda yang tergabung dalam Komunitas Sastra Tanpa Nama (KSTN) Gorontalo, aktivitas di atas adalah bagian dari apa yang mereka namakan sebagai “Piknik Para Penyair”, semacam media berekspresi sekaligus bereksperimen dalam menulis puisi.
“Yang kami lakukan kali ini adalah menulis puisi bersama, dengan gaya bebas,” kata Jamil Massa, salah seorang anggota KSTN Gorontalo.
Ide untuk menulis puisi bareng ini, sebutnya, sebenarnya meminjam dari aktivitas komunal lainnya, seperti halnya komunitas fotografer yang lazim melakukan aktivitas berburu foto bersama, dengan hanya bersenjatakan pena dan kertas, mereka kemudian mencoba saling berbagi cara pandang dan kedalaman menyelami makna, melalui puisi.
Menariknya lagi, setiap orang tidak perlu menyimak atau mengetahui baris puisi yang sudah ditulis terlebih dahulu oleh orang lain, karena yang ingin dicapai bukanlah kesinambungan logika kalimat, namun lebih pada saling membagi sudut pandang.
“Setiap kepala punya persepsi, sudut pandang dan pemaknaan yang berbeda meski dihadapkan pada obyek yang sama, kami berusaha untuk tidak saling mengintervensi,” ujar Ismanto Athief Lihawa, pentolan KSTN lainnya.
KSTN yang didirikan sejak dua tahun lalu, merupakan wadah para penyair muda di Gorontalo untuk saling belajar, bersama-sama menempuh “jalan sunyi”, yakni puisi, anggotanya datang dari berbagai latar belakang, mahasiswa, wartawan, hinggga pedagang kelontong.
Sebelumnya, komunitas sastra yang juga mencetuskan berdirinya Jurnal Kebudayaan Tanggomo ini, juga pernah melakukan “Piknik Penyair”, digelar di masjid Walima emas, Desa Bongo, Bubohu, yang terletak di lereng bukit.
Danau yang sarat puisi
Pada kali kedua kegiatan serupa, mereka memilih museum pendaratan Soekarno, salah satu obyek wisata sejarah yang dibangun untuk memperingati kunjungan perdana presiden RI pertama itu ke Gorontalo, pada 1950 silam.
“ Ada sesuatu yang puitis, yang bisa dikais dari tempat ini,” ujar Ishak Sambayang dan Arther Panther Olii, penyair dari KSTN.
Hingga kini, maksud dan tujuan kedatangan sang proklamator di Gorontalo kala itu masih simpang siur. Ada mengatakan untuk meneguhkan keutuhan Negara Kseatuan Republik Indonesia, namun ada versi yang mengatakan kedatangannya untuk mencari sesuatu yang berbau spiritual.
Yang jelas, di dalam museum berbangunan tua itu, terpajang beberapa koleksi foto yang diambil saat kedatangan Soekarno di Gorontalo, yang disambut para petinggi daerah setempat.
Danau limboto dan museum itu memiliki keterkaitan erat, sebab di danau terbesar di Gorontalo itulah, Soekarno melakukan pendaratan dengan menggunakan pesawat Amphibi, ini memberikan petunjuk sekaligus gambaran bahwa betapa pada masa itu, luas dan kedalaman danau terbesar di Gorontalo itu, masih memungkinkan sebagai tempat transportasi.
Hal itu berbanding terbalik dengan kondisi danau Limboto saat ini, sebagian besar permukaannya tertutupi gulma, menurut catatan badan Lingkungan Hidup, Riset, Teknologi dan Informasi (Balihristi) setempat, kedalaman air danau ini tinggal 2,5 meter saja,dengan luas tersisa 3.000 hektar.
Padahal puluhan tahun lalu, kedalaman danau ini masih mencapai 30 meter, dengan luas 7.000 hektar, ini terjadi akibat tingginya sedimentasi, kegiatan pembukaan kegiatan pembukaan hutan di daerah hulu sungai yang menjadi sumber tangkapan air.
Danau ini juga menyimpan banyak mitos dan legenda, konon sekitar abad ketujuh belas, Danau Limboto menjadi saksi bisu perjanjian damai oleh dua orang pemimpin kerajaan yang terlibat perang saudara selama ratusan tahun, yakni Popa dan Eyato. Masing masing adalah raja Limboto dan Gorontalo. Peristiwa itu dikenal sebagai perjanjian Popa-Eyato.
Kedua pemimpin kerajaan itu lantas menenggelamkan dua cincin berkait di dasar danau, di sana juga alat-alat perang kedua pasukan dikaramkan, mitos menyebutkan apabila cincin berkait itu ditemukan, maka perang saudara akan terulang kembali.
“Konflik kepemilikan lahan yang berkepanjangan, dan kepentingan para elit politik, membuat penanggulangan danau Limboto kian runyam, rasanya ini adalah perang saudara dalam bentuk yang lain,” begitu kesimpulan dari para penyair muda itu.
Gelap kemudian perlahan merayapi bangunan museum bersejarah di tepi danau Limboto yang tambah susut oleh kemarau, dan sejumlah anak muda itu beranjak pulang.
“Senja memilih diam, kemana cincin berkait itu berkubur, aku mau ziarah, lelaki yang porak poranda usai perang saudara, di sekujur tubuh kubiarkan sampan terjembab di bongkah tanah gersang..” begitu salah satu bait puisi yang terbaca di kertas lusuh itu .
(ANTARA)
(ANTARA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar