Kampus sedang gempar. Rektorat dan organ-organ mahasiswa sedang terlibat dalam saling tuding dan saling klaim. Bagaimana tidak, kampus yang selalu diusahakan rapi, asri dan bersih seminggu ini penuh dengan coretan-coretan besar, warna-warni, dalam jumlah massif dan (yang paling membuat rektorat gerah) dibanjiri slogan serta tuntutan-tuntutan yang sangat propagandis. Dalam tujuh hari ini saja, Fakultas Kesehatan Masyarakat dan Fakultas Kedokteran Gigi sudah mirip galeri lukisan mural di kolong-kolong fly-over ibukota. Kalimat-kalimat “tuntut hak mu pada anjing-anjing rektorat!”, “universitas bukan pabrik!”, dan berpuluh-puluh kalimat yang bisa menyengat ketenangan kampus membanjiri dinding-dinding ruangan, tembok-tembok kampus. Yang lebih menggemparkan lagi, tulisan-tulisan itu tidak stagnan tapi terus bertambah. Dari jam ke jam, hari ke hari, seolah-olah corat-coret itu hidup dan terus bereproduksi. Saat aku lewat di fakultasku hari ini,—fakultas terakhir yang masih “steril”—sudah mulai dijalari panu-panu dinding yang menjadi alasan saling tuding pelaku itu.
Secara pribadi, aku sendiri hanya ingin tertawa melihat perangai pihak rektorat dan organ-organ mahasiswa yang kekanak-kanakan. Pihak rektorat menuduh lembaga dan organisasi-organisasi mahasiswa sebagai aktor intelektual dan aktor operasional dari gerakan destruktif versi rektorat ini. Di pihak lain, organ-organ mahasiswa menuduh balik bahwa rektorat sengaja menghadirkan dan membesar-besarkan kasus ini agar memiliki justifikasi dan dalih pemberlakuan Prosedur Tetap Ketertiban dan Keamanan Kampus (biasa oleh para aktivis disingkat Protab Ketiban-mampus). Organisasi-organisasi kiri menjadi sasaran utama tudingan birokrat kampus dan lembaga-lembaga mahasiswa yang suka cari muka pada rektorat. Memang, beberapa organisasi ekstra yang “kiri”, seringkali menggunakan metode-metode wall propaganda untuk menebar “ajaran” sekaligus upaya “promosi” keberadaan mereka. Setahuku, biasanya dalam coretan dindingnya mereka turut memasang atribut atau logo gerakannya. Semisal huruh “A” dalam lingkaran yang merujuk pada gerakan anarko yang cukup intens memakai metode wall propaganda ini.
Tapi kali ini bukan saja tanpa identitas gerakan, front, apalagi organ, malah tulisan-tulisan itu sama sekali tidak berciri satu mazhab gerakan atau organisasi manapun. Kemulti-tuntutan-an ini yang turut mempertajam perang-tuding. Propaganda-propaganda yang muncul tidak saja tuntutan-tuntutan besar semisal “kapitalisme haram menampakkan dirinya dikampus ini!” atau “Ganti rezim, ganti sistem!” namun tuntutan-tuntutan “populis” seperti “Beri kami WC yang layak atau kami kencingi muka birokrat!” atau “Diktat bukan Jualan!” juga turut serta meramaikan parade tulisan di kampus yang semi-swasta ini.
Birokrat-birokrat kampus, dosen-dosen, elit-elit lembaga mahasiswa, hingga tenaga out-source cleaning service bergaji 300ribu/bulan dibuat kepayang, geram, sekaligus takjub. Disetiap sudut fakultas, di koridor-koridor, kantin, perpustakaan, dan kantor-kantor perbincangan pagelaran tulisan dinding bergema, memantul-mantul dari satu mulut ke mulut lainnya. Bahkan tren topik tidak penting mengenai seorang Brimob berpangkat Briptu yang sedang menjadi headline nasional, seolah tenggelam oleh desas-desus bertema tulisan dinding. Kegemparan yang asing untuk kampus yang terbiasa tidur dan menutup telinga dari realitas dan borok-borok di tubuhnya dan di sekitarnya.
Sementara orang lain pada meradang, bagiku ini adalah sebuah pesta! Pesta yang penuh dengan ekspresi aspiratif yang selama ini hanya ku baca dalam buku-buku teks atau majalah-majalah yang sok mengkritik, hanya ku dengar di tengah ceramah dalam kelas, hanya ku lihat di spanduk-spanduk demonstrasi yang momentuman. Dan kali ini semua itu membuncah sekaligus bersamaan! Waw! Ini seperti sebuah fantasi.
Tulisan-tulisan terus beranak-pinak dengan garis keturunan yang tidak jelas. Kalimat-kalimat satir juga sarkartis terus bermunculan dari satu tembok ke tembok lain. Seperti demonstrasi yang senyap. Silent Chaos yang meluncur dari puncak gunung es. Dari titik salju lalu menjadi tumpahan gunung. Anehnya, tulisan-tulisan itu tidak bereproduksi ketika ada orang yang melihat atau mengamati. Atau ketika orang sedang ramai. Kalimat demi kalimat itu seolah lahir dari keheningan, dari kesepian, dari mulut-mulut dinding yang tercekat. Sepertinya fenomenan ini semacam peristiwa gaib. Namun di zaman positivis ini (apalagi dalam tembok kampus yang begitu memuja agama positivisme) adalah tidak mungkin jika pihak kampus mengumumkan ke khalayak bahwa tulisan-tulisan itu muncul dari dimensi yang metafisik, transeden, atau gaib. Maka dilahirkanlah lembaga-lembaga mahasiswa sebagai “suspect” pelaku. Mirip dengan tehnik yang dipraktekkan oleh dunia Barat dalam menuding para mujahidin sebagai teroris.
Kata seorang temanku dari Fakultas T., warna tulisan-tulisan di fakultasnya itu adalah dwi-warna yang selalu mereka agungkan. “tapi bukankah itu keren?” tanyaku pada temanku itu. Yang ditanya malah mengernyit wajah: “masalahnya, tulisan-tulisan di fakultas kami tidak hanya perihal kecaman terhadap rektorat, kampus, atau pemerintah. Dinding-dinding itu juga bertuliskan kecaman untuk kami, memakai warna kami!”. Aku—sebagai anak fakultas yang kerap terlibat tawuran dengan Fakultas berlambang tengkorak itu—cuma bisa menduga-duga soal kecaman seperti apa yang mereka terima dari tembok-tembok mereka sendiri. Saat ku tanya, temanku itu bersikeras tidak mau menceritakan kecaman apa yang dia maksud. Dia malah balik menuduh anak fakultas lainlah di balik semua ini. Ah, temanku itu, disaat-saat seperti ini seharusnya egoisme dan fanatisme fakultas bukan zamannya lagi. Ada musuh lebih besar yang harus kita hadapi bersama.
Siapa dan mau diapakan musuh-musuh itu satu per satu terus diproduksi, mengalami repetisi yang diasporik. Semua orang di kampusku kini seolah kaget. Seperti seorang anak kecil yang terbangun di tengah malam karena mimpi buruk. Dan dinding-dinding kampus lah yang melakukannya—bukan manusia-manusia yang punya mulut dan tangan.
Siang ini kampus kian ramai. Media-media lokal dan nasional mulai meliput fenomena langka ini. Tapi sayang, bukan apa yang tertulis di dinding-dinding itu yang mereka liput. Manusia-manusia kuli rating itu malah meliput soal warna, pola, dan fenomena kemunculan coret-moret itu dari berbagai perspektif (sangat mirip dengan model pemberitaan crop circle dan UFO) plus beberapa wawancara ekslusif dengan rektor dan dua orang yang diklaim (atau mengklaim diri?) sebagai tokoh mahasiswa. Dan kedua pihak itu masih sama saja dengan sikapnya yang mula-mula: ini konspirasi yang mau menjatuhkan kredibilitas kami.
***
Petang. Malam perlahan jatuh di atap bumi. Kampus sudah sepi. Ternyata dengan level kehebohan setingkat ini pun tidak cukup untuk membuat orang bertahan lama di kampus. Atau mungkin karena “teror” ini, maka kampus kian menyeramkan, kian memuakkan. Tulisan-tulisan di tembok fakultasku kelihatannya masih sama dengan tadi pagi ketika aku datang. Cuma kalau kau benar-benar memperhatikan, sebenarnya sudah ada beberapa kalimat kecaman baru yang tertulis di bawah kalimat besar “Tolak Komersialisasi Pendidikan!”. Tulisan itu masih kecil. Aku duga, tulisan itu baru beberapa menit “lahir”. Aku tak bisa membacanya dari jarak ini.
Aku mendekat. Kalimat-kalimat itu masih terlalu kecil buat ku baca dengan mata minus ku. Dengan jarak 15 senti dari tembok koridor tulisan itu sedikit kentara. Dan perlahan ku dengar suara-suara dari arah tembok itu. Gumam. Ah, tidak, tidak. Bukan gumaman. Ini percakapan. Diantara rasa seram dan penasaran ku dengar tembok-tembok itu bercakap dengan suara seperti dicekik. Lirih.
Bisikan-bisikan itu terdengar seperti erangan yang bercampur dengan rasa muak. Mungkin tembok-tembok ini gerah untuk hanya jadi penonton dari tumpukan masalah. Tapi ah, mana mungkin? Mana mungkin benda mati ini punya kognisi dan sentiment? Atau mungkin kepekaan manusia-manusia di kampus ini sudah tercerabut dan berpindah ke tembok-tembok ini? Ah, tidak! Tidak mungkin. Ini hanya kerjaan orang-orang iseng. Aku mendekat lagi, tulisan didepanku seperti membesar. Benar-benar membesar. Oh, Tuhan aku sedang berilusi. Ku tutup mataku.
Dan tembok di depanku tiba-tiba putih bersih. Tak ada tulisan apa-apa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar