Teras

Kamis, 27 Oktober 2011

Sajak: Hari Sampah Pemuda

Tak ada lagi sumpah
sekarang tinggal serapah

Tak ada lagi janji setia
kini tinggal ingkar apologia

Lalu cuma tersisa sekonyong daging muda
segar
tak punya mimpi, kecuali mimpi yang basah
mimpi yang kental, anyir, dan hitam kelam

Tak ada lagi sumpah
tinggal setumpuk sampah: bernama pemuda.


28102011

Kamis, 20 Oktober 2011

Over?

Aku sebenarnya masih tidak paham: bagaimana bisa pra-sangka dan over-judging masih bisa menimpa orang-orang yang, menurutku, cerdas dan lebih dewasa?

Semoga ini tidak tersimplifikasi sebagai kurangnya komunikasi. Juga tidak tergeneralisasi sebagai non grata yang lahir dari tumpukan penglihatan yang 'diluar jangkauan'.

Setiap generasi memiliki masalah, kondisi, dan solusi nya masing-masing. Aku percaya itu.

Senin, 03 Oktober 2011

Piknik Penyair, Mengais Puisi di Tepi Danau Limboto

Untuk kali kedua, saya melewatkan acara unik dan berkesan yang sering dilakukan oleh teman-teman di Komunitas Sastra Tanpa Nama (KSTN) Gorontalo. Untuk kali kedua, saya hanya bisa membaca reportase dan sekeranjang foto-foto tentang betapa mengasyikkannya piknik ini. Tapi sudahlah, saya hanya ingin sedikit berbagi tentang kegiatan para tukang puisi di Gorontalo ini. Berikut reportasenya.


***

Sehelai kertas terlipat diletakkan begitu saja di meja marmer, seorang lelaki baru saja menuliskan sesuatu di sana, tak lama kemudian rekannya menyusul, gantian menuliskan sesuatu lagi, terus hingga berganti beberapa orang.

Langit senja kian merah merekah  oleh matahari yang hendak tenggelam, Kamis (29/9),di tepi danau Limboto, tepatnya di Museum pendaratan Soekarno, Desa Iluta, Kabupaten Gorontalo, sembilan anak muda bergantian menyambangi sehelai kertas, baris demi baris puisi mereka torehkan.

Mereka adalah sekelompok penyair muda yang tergabung dalam Komunitas Sastra Tanpa Nama (KSTN) Gorontalo, aktivitas di atas adalah bagian dari apa yang mereka namakan sebagai “Piknik Para Penyair”, semacam media berekspresi sekaligus bereksperimen dalam menulis puisi.

“Yang kami lakukan kali ini adalah menulis puisi bersama, dengan gaya bebas,” kata Jamil Massa, salah seorang anggota KSTN Gorontalo.

Ide untuk menulis puisi bareng ini, sebutnya, sebenarnya meminjam  dari aktivitas komunal lainnya, seperti halnya komunitas  fotografer yang lazim melakukan aktivitas berburu foto bersama, dengan hanya bersenjatakan pena dan kertas, mereka kemudian mencoba saling berbagi cara pandang dan kedalaman menyelami makna, melalui puisi.

Menariknya lagi, setiap orang  tidak perlu menyimak atau mengetahui baris puisi yang sudah ditulis terlebih dahulu oleh orang lain, karena yang ingin dicapai bukanlah kesinambungan logika kalimat, namun lebih pada saling membagi sudut pandang.

“Setiap kepala punya persepsi, sudut pandang dan pemaknaan yang berbeda meski dihadapkan pada obyek yang sama, kami berusaha untuk tidak saling mengintervensi,” ujar Ismanto Athief Lihawa, pentolan KSTN lainnya.

KSTN yang didirikan sejak dua tahun lalu,  merupakan wadah para penyair muda di Gorontalo  untuk saling belajar, bersama-sama menempuh “jalan sunyi”, yakni puisi, anggotanya  datang dari berbagai latar belakang, mahasiswa, wartawan, hinggga pedagang kelontong.

Sebelumnya, komunitas sastra yang juga mencetuskan berdirinya Jurnal Kebudayaan Tanggomo ini, juga pernah melakukan “Piknik Penyair”, digelar di masjid Walima emas, Desa Bongo, Bubohu, yang terletak di lereng bukit.

Danau yang sarat puisi

Pada kali kedua kegiatan serupa, mereka memilih museum  pendaratan Soekarno, salah satu obyek wisata sejarah yang dibangun  untuk memperingati kunjungan perdana presiden RI pertama itu ke Gorontalo, pada 1950 silam.

“ Ada sesuatu yang puitis, yang bisa dikais dari tempat ini,” ujar Ishak Sambayang dan Arther Panther Olii, penyair dari KSTN.

Hingga kini, maksud dan tujuan kedatangan sang proklamator di Gorontalo kala itu masih simpang siur. Ada mengatakan untuk meneguhkan keutuhan Negara Kseatuan Republik Indonesia, namun ada versi yang mengatakan kedatangannya untuk  mencari sesuatu yang berbau spiritual.

Yang jelas, di dalam museum berbangunan tua itu, terpajang beberapa koleksi foto yang diambil saat kedatangan Soekarno di Gorontalo, yang disambut para petinggi daerah setempat.

Danau limboto dan museum itu memiliki keterkaitan erat, sebab di danau terbesar di Gorontalo itulah, Soekarno melakukan pendaratan dengan menggunakan pesawat Amphibi, ini  memberikan petunjuk sekaligus gambaran bahwa betapa pada masa itu, luas dan kedalaman danau terbesar di Gorontalo itu, masih memungkinkan sebagai tempat transportasi.

Hal itu berbanding terbalik dengan kondisi danau Limboto saat ini, sebagian besar permukaannya tertutupi gulma, menurut catatan badan Lingkungan Hidup, Riset, Teknologi dan Informasi (Balihristi) setempat,  kedalaman air danau ini tinggal 2,5 meter saja,dengan luas tersisa 3.000 hektar.

 Padahal puluhan tahun lalu, kedalaman  danau ini masih mencapai 30 meter, dengan luas 7.000 hektar, ini terjadi akibat tingginya sedimentasi, kegiatan pembukaan kegiatan pembukaan hutan  di daerah hulu sungai yang menjadi sumber tangkapan air.

Danau ini juga menyimpan banyak mitos dan legenda, konon sekitar abad ketujuh belas, Danau Limboto  menjadi saksi bisu perjanjian damai oleh  dua orang pemimpin kerajaan yang terlibat perang saudara selama ratusan tahun, yakni Popa dan Eyato. Masing masing adalah raja Limboto dan Gorontalo. Peristiwa  itu dikenal sebagai perjanjian Popa-Eyato.

Kedua pemimpin kerajaan itu lantas  menenggelamkan dua cincin berkait di dasar danau, di sana juga alat-alat perang kedua pasukan dikaramkan, mitos menyebutkan apabila cincin berkait itu ditemukan, maka perang saudara akan terulang kembali.

“Konflik kepemilikan lahan yang berkepanjangan, dan kepentingan para elit politik, membuat penanggulangan danau Limboto kian runyam, rasanya ini adalah perang saudara dalam bentuk yang lain,” begitu kesimpulan dari para penyair muda itu.

Gelap kemudian perlahan merayapi bangunan  museum bersejarah di tepi danau Limboto yang tambah susut oleh kemarau, dan sejumlah anak muda itu  beranjak pulang.

 “Senja memilih diam, kemana cincin berkait itu berkubur, aku mau ziarah, lelaki yang porak poranda usai perang saudara, di sekujur tubuh kubiarkan sampan terjembab di bongkah tanah gersang..” begitu salah satu bait puisi yang terbaca di kertas lusuh itu .
(ANTARA)

Cerpen: Tembok-Tembok yang Marah

Kampus sedang gempar. Rektorat dan organ-organ mahasiswa sedang terlibat dalam saling tuding dan saling klaim. Bagaimana tidak, kampus yang selalu diusahakan rapi, asri dan bersih seminggu ini penuh dengan coretan-coretan besar, warna-warni, dalam jumlah massif dan (yang paling membuat rektorat gerah) dibanjiri slogan serta tuntutan-tuntutan yang sangat propagandis. Dalam tujuh hari ini saja, Fakultas Kesehatan Masyarakat dan Fakultas Kedokteran Gigi sudah mirip galeri lukisan mural di kolong-kolong fly-over ibukota. Kalimat-kalimat “tuntut hak mu pada anjing-anjing rektorat!”, “universitas bukan pabrik!”, dan berpuluh-puluh kalimat yang bisa menyengat ketenangan kampus membanjiri dinding-dinding ruangan, tembok-tembok kampus. Yang lebih menggemparkan lagi, tulisan-tulisan itu tidak stagnan tapi terus bertambah. Dari jam ke jam, hari ke hari, seolah-olah corat-coret itu hidup dan terus bereproduksi. Saat aku lewat di fakultasku hari ini,—fakultas terakhir yang masih “steril”—sudah mulai dijalari panu-panu dinding yang menjadi alasan saling tuding pelaku itu.

Secara pribadi, aku sendiri hanya ingin tertawa melihat perangai pihak rektorat dan organ-organ mahasiswa yang kekanak-kanakan. Pihak rektorat menuduh lembaga dan organisasi-organisasi mahasiswa sebagai aktor intelektual dan aktor operasional dari gerakan destruktif versi rektorat ini. Di pihak lain, organ-organ mahasiswa menuduh balik bahwa rektorat sengaja menghadirkan dan membesar-besarkan kasus ini agar memiliki justifikasi dan dalih pemberlakuan Prosedur Tetap Ketertiban dan Keamanan Kampus (biasa oleh para aktivis disingkat Protab Ketiban-mampus). Organisasi-organisasi kiri menjadi sasaran utama tudingan birokrat kampus dan lembaga-lembaga mahasiswa yang suka cari muka pada rektorat. Memang, beberapa organisasi ekstra yang “kiri”, seringkali menggunakan metode-metode wall propaganda untuk menebar “ajaran” sekaligus upaya “promosi” keberadaan mereka. Setahuku, biasanya dalam coretan dindingnya mereka turut memasang atribut atau logo gerakannya. Semisal huruh “A” dalam lingkaran yang merujuk pada gerakan anarko yang cukup intens memakai metode wall propaganda ini.

Tapi kali ini bukan saja tanpa identitas gerakan, front, apalagi organ, malah tulisan-tulisan itu sama sekali tidak berciri satu mazhab gerakan atau organisasi manapun. Kemulti-tuntutan-an ini yang turut mempertajam perang-tuding. Propaganda-propaganda yang muncul tidak saja tuntutan-tuntutan besar semisal “kapitalisme haram menampakkan dirinya dikampus ini!” atau “Ganti rezim, ganti sistem!” namun tuntutan-tuntutan “populis” seperti “Beri kami WC yang layak atau kami kencingi muka birokrat!” atau “Diktat bukan Jualan!” juga turut serta meramaikan parade tulisan di kampus yang semi-swasta ini.

Birokrat-birokrat kampus, dosen-dosen, elit-elit lembaga mahasiswa, hingga tenaga out-source cleaning service bergaji 300ribu/bulan dibuat kepayang, geram, sekaligus takjub. Disetiap sudut fakultas, di koridor-koridor, kantin, perpustakaan, dan kantor-kantor perbincangan pagelaran tulisan dinding bergema, memantul-mantul dari satu mulut ke mulut lainnya. Bahkan tren topik tidak penting mengenai seorang Brimob berpangkat Briptu yang sedang menjadi headline nasional, seolah tenggelam oleh desas-desus bertema tulisan dinding. Kegemparan yang asing untuk kampus yang terbiasa tidur dan menutup telinga dari realitas dan borok-borok di tubuhnya dan di sekitarnya.

Sementara orang lain pada meradang, bagiku ini adalah sebuah pesta! Pesta yang penuh dengan ekspresi aspiratif yang selama ini hanya ku baca dalam buku-buku teks atau majalah-majalah yang sok mengkritik, hanya ku dengar di tengah ceramah dalam kelas, hanya ku lihat di spanduk-spanduk demonstrasi yang momentuman. Dan kali ini semua itu membuncah sekaligus bersamaan! Waw! Ini seperti sebuah fantasi.

Tulisan-tulisan terus beranak-pinak dengan garis keturunan yang tidak jelas. Kalimat-kalimat satir juga sarkartis terus bermunculan dari satu tembok ke tembok lain. Seperti demonstrasi yang senyap. Silent Chaos yang meluncur dari puncak gunung es. Dari titik salju lalu menjadi tumpahan gunung. Anehnya, tulisan-tulisan itu tidak bereproduksi ketika ada orang yang melihat atau mengamati. Atau ketika orang sedang ramai. Kalimat demi kalimat itu seolah lahir dari keheningan, dari kesepian, dari mulut-mulut dinding yang tercekat. Sepertinya fenomenan ini semacam peristiwa gaib. Namun di zaman positivis ini (apalagi dalam tembok kampus yang begitu memuja agama positivisme) adalah tidak mungkin jika pihak kampus mengumumkan ke khalayak bahwa tulisan-tulisan itu muncul dari dimensi yang metafisik, transeden, atau gaib. Maka dilahirkanlah lembaga-lembaga mahasiswa sebagai “suspect” pelaku. Mirip dengan tehnik yang dipraktekkan oleh dunia Barat dalam menuding para mujahidin sebagai teroris.

Kata seorang temanku dari Fakultas T., warna tulisan-tulisan di fakultasnya itu adalah dwi-warna yang selalu mereka agungkan. “tapi bukankah itu keren?” tanyaku pada temanku itu. Yang ditanya malah mengernyit wajah: “masalahnya, tulisan-tulisan di fakultas kami tidak hanya perihal kecaman terhadap rektorat, kampus, atau pemerintah. Dinding-dinding itu juga bertuliskan kecaman untuk kami, memakai warna kami!”. Aku—sebagai anak fakultas yang kerap terlibat tawuran dengan Fakultas berlambang tengkorak itu—cuma bisa menduga-duga soal kecaman seperti apa yang mereka terima dari tembok-tembok mereka sendiri. Saat ku tanya, temanku itu bersikeras tidak mau menceritakan kecaman apa yang dia maksud. Dia malah balik menuduh anak fakultas lainlah di balik semua ini. Ah, temanku itu, disaat-saat seperti ini seharusnya egoisme dan fanatisme fakultas bukan zamannya lagi. Ada musuh lebih besar yang harus kita hadapi bersama.

Siapa dan mau diapakan musuh-musuh itu satu per satu terus diproduksi, mengalami repetisi yang diasporik. Semua orang di kampusku kini seolah kaget. Seperti seorang anak kecil yang terbangun di tengah malam karena mimpi buruk. Dan dinding-dinding kampus lah yang melakukannya—bukan manusia-manusia yang punya mulut dan tangan.

Siang ini kampus kian ramai. Media-media lokal dan nasional mulai meliput fenomena langka ini. Tapi sayang, bukan apa yang tertulis di dinding-dinding itu yang mereka liput. Manusia-manusia kuli rating itu malah meliput soal warna, pola, dan fenomena kemunculan coret-moret itu dari berbagai perspektif (sangat mirip dengan model pemberitaan crop circle dan UFO) plus beberapa wawancara ekslusif dengan rektor dan dua orang yang diklaim (atau mengklaim diri?) sebagai tokoh mahasiswa. Dan kedua pihak itu masih sama saja dengan sikapnya yang mula-mula: ini konspirasi yang mau menjatuhkan kredibilitas kami.

***

Petang. Malam perlahan jatuh di atap bumi. Kampus sudah sepi. Ternyata dengan level kehebohan setingkat ini pun tidak cukup untuk membuat orang bertahan lama di kampus. Atau mungkin karena “teror” ini, maka kampus kian menyeramkan, kian memuakkan. Tulisan-tulisan di tembok fakultasku kelihatannya masih sama dengan tadi pagi ketika aku datang. Cuma kalau kau benar-benar memperhatikan, sebenarnya sudah ada beberapa kalimat kecaman baru yang tertulis di bawah kalimat besar “Tolak Komersialisasi Pendidikan!”. Tulisan itu masih kecil. Aku duga, tulisan itu baru beberapa menit “lahir”. Aku tak bisa membacanya dari jarak ini.

Aku mendekat. Kalimat-kalimat itu masih terlalu kecil buat ku baca dengan mata minus ku. Dengan jarak 15 senti dari tembok koridor tulisan itu sedikit kentara. Dan perlahan ku dengar suara-suara dari arah tembok itu. Gumam. Ah, tidak, tidak. Bukan gumaman. Ini percakapan. Diantara rasa seram dan penasaran ku dengar tembok-tembok itu bercakap dengan suara seperti dicekik. Lirih.

Bisikan-bisikan itu terdengar seperti erangan yang bercampur dengan rasa muak. Mungkin tembok-tembok ini gerah untuk hanya jadi penonton dari tumpukan masalah. Tapi ah, mana mungkin? Mana mungkin benda mati ini punya kognisi dan sentiment? Atau mungkin kepekaan manusia-manusia di kampus ini sudah tercerabut dan berpindah ke tembok-tembok ini? Ah, tidak! Tidak mungkin. Ini hanya kerjaan orang-orang iseng. Aku mendekat lagi, tulisan didepanku seperti membesar. Benar-benar membesar. Oh, Tuhan aku sedang berilusi. Ku tutup mataku.

Dan tembok di depanku tiba-tiba putih bersih. Tak ada tulisan apa-apa.

Sabtu, 01 Oktober 2011

Terjemah: Seratus Tahun


            (sebuah terjemahan bebas dari 100 Years, Five for Fighting)


sesaat, usai sertamerta lima belas
di antara sepuluh-duapuluh yang lekas
aku baru saja bermimpi
mengirangira kemana kau melangkah; meretas

sesaat, umur duapuluhdua menyulur
oh dia, kian rekah, kian hibur.
dan kita dipenuhi rasa muda
seumpama baru saja tiba
dari perjalanan hebat ke mars.

di limabelas, masih ada waktu untukmu
buat meraih suatu dan kehilangannya
di limabelas, tiada ingin yang lebih mungkin
sebab, kita cuma punya seratus tahun untuk hidup

sesaat, tigapuluhtiga
masih dengan muda-gempita
namun kau melihatku lain, seperti seorang lain
: seorang bocah jalanan
: sebuah keluarga dalam benakku

Sesaar, empatpuluhlima tiba
Laut memuncak
menuju galau
mengejar tahuntahun yang bergegas

di limabelas, masih ada waktu untukmu
buat meraih suatu; dan kehilangan dirimu
bersama bebintang fajar.

Di limabelas, aku baikbaik saja bersamamu
Di limabelas, tak ada ingin yang lebih mungkin
sebab, kita cuma punya seratus tahun untuk hidup

setengah jalanan usia ditapaki dalam usai
tibatiba kau menjadi bijak. Penuh pijak.
Kerlip mata hidup yang lain
Enampuluhtujuh pergi beranjak
Matahari kian ke puncak
Dan kita bergerak seperti selalu

Sembilanpuluhsembilan, sesaat pulang
Menemui maut, untuk saat setelah.
aku baru saja bermimpi
mengirangira kemana kau melangkah; meretas

limabelas, masih ada waktu untukmu
duapuluhdua, aku pun merasanya
tigapuluhtiga, kau dijalanmu

hari baru datang setiap hari

limabelas, masih ada waktu untukmu
buat meraih suatu dan memilihnya
Oh Di limabelas, tak ada ingin yang lebih mungkin
sebab, kita cuma punya seratus tahun untuk hidup, mungkin?



Sajak: Tanggomo


Bismillah
begitu syair selalu dimula
lalu sejarah terbentang sepanjang rima

tutur berkejar bernampak
menarik lariklarik serupa komedi dan epik

terlahir kembali kisah dan cerita
dalam semua hujung.
oh, aduhai!


Gorontalo, 090111
Langkah pertama sebuah sejarah...

Sajak: Sisa Kue Seorang Ibu untuk Anaknya


                     : atika

pada mulanya kue ini utuh, bulat penuh
lalu setiap tahun sepengal demi sepenggal, usia memotongnya
lilinnya dulu cuma butuh satu dua tiga biji
tapi ibu sudah beli dari warung sebelah: dua puluh satu biji
alangkah terang kue ini sekarang, nak!

dulu sekali, kue ini masih penuh coklat dan gulagula
ada juga krim serupa bunga di atasnya
oh, imut nian perangai kue itu
seperti sebuah taman bunga yang disirami hujan coklat.


kemarin kue itu sudah penuh comotan,
kamu tahu kan, soal kue, anak kecil dan orang dewasa
menjadi tak punya beda.
mungkin kue adalah satusatunya hal yang membuat manusia terus muda.

tenang saja.
sekarang dia lebih mirip semak semerbak
di musim kemarau yang dulu teratur datang.
ibu sudah menaburnya dengan keju, coklat putih, dan
beberapa bahan makanan yang aku lupa namanya.

memandangi kue ini aku seperti melihat diriku dalam kaca
yang mengikatkan tali sepatumu, menguncir rambutmu,
dan mendengarmu mengucap salam dengan ucapan yang belum sempurna.

ah, nak, cepatlah pulang dari sekolah.
bilang sama muridmuridmu kalau ada hari yang lebih penting
dari upacara hari senin.
cepat potong sisa kue ini! tiup dua puluh satu biji lilin!
lalu kita merayakan hari dimana ibu hampir mati.
Selamat ulang tahun, anakku...


Makassar, 061010 



Sajak: Relativitas


aku melihatmu dalam segala bila
dalam setiap penjuru jalan pulang

di kilometer sekian, aku rehat, menanggal letih
menjumlah jarak: masih terlalu dekat dari sepi

di saku ranselku ada sebuah buku, fisika yang dirajut filsafat
aku benci dua tema itu, ah, sebenarnya

tapi dua tema itu kerap bercerita ke aku
tetang relativitas, konsep semesta, waktu;jarak;ruang;massa

buku itu bercerita dengan bahasa angka
bagaimana bisa aku menerka. aku benci angka.

cuma, ada catatan kecil di awal buku kecil itu
sebuah prolog

jarak adalah relatif
cahaya itu absolut.

maka aku tersenyum dan memulai perjalanan ini
pulang, menjemput kembali hati.

buku itu tetap lelap di maqamnya
aku tidak suka angka, filsafat, apalagi fisika

aku tak habis fikir, bahasa apa yang ditata dari angka
padahal ini cuma masalah sederhana:

bagiku, jarak adalah perjuangan
dirimu itu absolut.


Makassar, 031010