Teras

Senin, 26 Desember 2011

Sajak: Maira! Maira!

      Kepada Sape


kalian tidak punya tongkat Musa
hanya sebakul permintaan rakyat biasa
juga tak punya bahtera Nuh
cuma pikiran dan hidup yang kian jenuh

: dan berangkatlah pagi-pagi segerombolan burung ababil
membawa bedil, otak secuil, dan kesombongan ala Fir'aun yang batil
ingin menjadi Izrail bagi jiwa-jiwa tak punya kuasa
melempar batubatu dari istana pandir. anyir.

Maira! Maira!
pergi ke tepi laut merah, ke ujung hitam darah!

langit bergairah, mengucap selamat datang
pada dua gugus bintang yang binar di pucuk siang. bintang Made.
ombak meruah. tumpah amarah. tumpah serapah.
Sape jadi laut Nuh, tanpa tongkat Musa
Fir'aun bersimbah salah, larut dalam taguth.

Maira! Maira!
pergi ke tepi laut merah, ke ujung hitam darah!


Makassar, 261211



Cat:
Maira = Ayo (Bima)
Made = Maut (Bima)
Taguth = Melampaui batas (Arab)

Jumat, 02 Desember 2011

Sajak: Serambi Desember

           : M Taufiq Mansyur 

Desember adalah serambi yang dipenuhi bau warna jingga
ia tidak pernah tahu, bahwa ia adalah dedahan terakhir yang dicintai benih dan hujan.

dalam sepohon tahun, biasanya desember bercabang sangat ranggas
melampaui dahandahan yang dua belas.

seperti kamu, ia suka menangkap senja, mengurungnya dalam baitbait
yang tidak pernah selesai ditelimpuhi aksara. mati lalu hidup lagi.

begitulah ia, adalah serambi yang dipenuhi bau jingga, selaksa wajah mega
dan seperti aku, ia suka melepas hujan ke ladang-ladang yang tak terjangkau suara.



Makassar, 011211

Kamis, 24 November 2011

Guru: Sosok yang Direduksi

Syahdan, disebuah negeri yang bernama Indonesia diadakan lomba membuat gajah menangis. Berbagai lapisan dan profesi rakyat negeri itu tumpah ruah mendaftar dan ikut serta dalam lomba nasional itu. Satu persatu peserta mencoba membuat sang gajah menangis dengan segala cara, namun alih-alih menangis gajah itu malah berjingkrak-jingkrak seperti kegirangan. Sampai tibalah giliran seorang bapak berpakaian kopri dan berpeci. Dengan langkah tidak yakin, dia berjalan ke arah gajah dan membisikan sesuatu ketelinga gajah itu. Tak dinyana, gajah itu menitikkan airmata. Menangis. Ternyata, bapak berpeci itu hanya membisikkan empat kata: “Gajah... aku seorang guru”.

Anekdot tersebut mungkin terlalu berlebihan. Namun cukup untuk membuat kita bertanya, seburuk itukah keadaan guru dimata kita? Terlebih di tengah pusaran problematika pendidikan Indonesia, peran dan fungsi guru sepertinya terus mengalami reduksi yang sifatnya sistemik. Padahal kunci keberhasilan pembangunan nasional terletak pada pendidikan dan kunci keberhasilan pendidikan terletak pada guru. Guru sebagai tulang punggung pendidikan telah dibentuk sedemikian rupa menjadi seperti pekerja pabrik yang harus menghasilkan komoditi atau ‘barang bagus’ yang punya nilai tambah, kompetensi, berstandar tinggi, dan laku di pasaran. Ruh guru sebagai sosok yang luhur terus luntur. Tugas mulianya sebagai seorang yang padanya pena ilmu pengetahuan dititipkan bergeser menjadi tugas untuk mengenyangkan perut buncit pasar. Apa yang terjadi dengan mereka?

Pengreduksian Peran dan Fungsi
Untuk menjawab pertanyaan sederhana itu, mari kita lihat beberapa fakta objektif tentang guru. Hal pertama yang patut kita lihat adalah telah terjadi pergeseran filosofis akan makna dan kedudukan guru. Kita perlu menyadari bahwa secara formal, istilah guru sekarang telah sempitkan maknanya dari terminologi pendidikan di Indonesia. Kata dan makna guru yang selama ini kita kenal telah digeser menjadi ‘pendidik’. Dalam UU Sisdiknas kata ‘pendidik’-lah yang dipakai untuk mengkonsepsikan sosok ‘guru’. Padahal secara etimologis, dalam bahasa Sanskerta, guru lebih dari sekedar pengajar. Makna guru adalah seorang ahli, konselor, saga, sahabat, pendamping, seniman, bahkan pemimpin spiritual. Oleh Anita Lie, seorang aktivis pendidikan,  guru dimaknai sebagai seseorang yang membebaskan manusia dari kegelapan karena ketidaktahuan dan ketidaksadaran.

Dalam Islam guru ditempatkan pada posisi yang sangat mulia dan bermatabat. Seruan untuk menghormati guru (atau dalam istilah islam disebut Da’i) walau ia hanya mengajarkan kita satu ayat menunjukan bahwa betapa terhormatnya menjadi seorang guru. Guru dalam Islam tidak hanya sebagai seorang pendidik (Muaddib), namun juga sebagai seorang pelurus informasi (Musaddid), Pembaharu (Mujaddid), Pemersatu (Muwahid), dan lebih dari itu, guru adalah sosok Pejuang (Mujahid). Maka sangat memprihatinkan ketika sosok pembebas itu kemudian dipermak oleh sistem menjadi profesi yang tugasnya hanya mencetak peserta didik yang dapat bersaing secara ekonomis. Darmaningtyas (Kompas, 2/05/08) bahkan menjelaskan bahwa istilah-istilah yang dipakai dalam dunia pendidikan sekarang  sepenuhnya adalah istilah ekonomi dan korporasi. Makna dan filosofi guru-pun akhirnya mengalami degradasi secara sktruktural dan kultural. Luruh digerus zaman.

Kondisi yang tidak kalah memprihatinkan adalah bagaimana image guru dan kaitanya dengan sistem pendidikan keguruan serta rekruitmen guru. Sudah menjadi rahasia umum, menjadi seorang guru di Indonesia mungkin adalah pilihan terakhir bagi lulusan SMA atau perguruan tinggi. Guru dipandang sebagai pekerjaan kelas dua. Hal ini terbukti dari data yang menyebutkan bahwa lebih dari 60% guru di Indonesia adalah orang yang semasa sekolah rata-rata hanya menduduki posisi bottom-ten ranking di kelas. Bandingkan dengan negara-negara seperti Jepang, Findlandia dan Belanda yang menempatkan profesi guru sebagai profesi yang sangat selektif dan bergengsi. Jenjang pendidikan dan proses rekruitmennya benar-benar dirancang untuk mempersiapkan guru yang cerdas, inovatif, dan mengerti filosofi seorang guru.

Melihat kembali sejarahnya Sekolah Pendidikan Guru (SPG), atau SGA, SGO tampaknya merupakan model yang cukup berkualitas untuk memenuhi kebutuhan guru pada masanya.  Peleburan sekolah-sekolah ini menjadi SMA biasa, dan menaikkan derajat pendidikan guru di tingkat pendidikan tinggi (IKIP) juga suatu upaya yang cukup baik untuk membuat kandidat guru dapat mempunyai gelar Sarjana. Namun perubahan IKIP menjadi Universitas  membuat pendidikan keguruan semakin tidak jelas arahnya.

Pendidikan keguruan yang tidak komperhensif ditambah dengan rekruitmen yang tidak jelas dan tidak selektif tersebut akhirnya berdampak langsung pada kualitas guru yang rendah. Dari 2,7 juta guru di Indonesia, sekitar 1,3 juta atau 50% belum layak mengajar. Dalam hasil survei dari Human Development Index (HDI) juga disebutkan bahwa sebanyak 60% guru SD, 40% guru SLTP, 43% guru SMU, dan 34% guru SMK belum memenuhi standardisasi mutu pendidikan nasional. Kurangnya kelayakan profesionalisme dan kompetensi guru yang dimaksud dalam hal ini merupakan kemampuan Guru dalam penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam, yakni kemampuan dalam menguasai ilmu, jenjang dan jenis pendidikan yang sesuai.

Berbagai kendala yang dihadapi sekolah terutama di daerah luar kota, umumnya mengalami kekurangan tenaga guru yang sesuai dengan kebutuhan. Kebutuhan terhadap subjek atau bidang studi yang sesuai dengan latar belakang guru. Sekolah terpaksa menempuh kebijakan yang tidak popular bagi anak, guru mengasuh pelajaran yang tidak sesuai bidangnya. Dari pada jam pelajaran tidak ada yang mengisi, lebih baik ada guru yang bisa mendampingi dan mengarahkan belajar di kelas. Hal ini terbukti dari hasil temuan yang menunjukkan 17,2% guru di Indonesia mengajar bukan pada bidang keahlian mereka (Toharuddin, Oktober 2005). Singkatnya, proses pendidikan, perekrutan, dan penempatan Guru di Indonesia masih sangat kacau.
Kondisi memprihatinkan itu akhirnya diperparah oleh rendahnya tingkat kesejahteraan guru di Tanah Air. Guru yang kemudian diklasifikasikan menjadi Guru PNS dan Guru Non-PNS atau  honorer (guru kontrak, guru bantu, guru sukarelawan). Masing-masing klasifikasi kemudian mempengaruhi tingkat gaji dan tunjangan yang diberikan kepada mereka. Namun sayangnya pengklasifikasian tersebut tidak berdasarkan standar kemampuan dan keahlian yang jelas. Sertifikasi pun dibuat sebagai jalan pintas untuk menutupi kekacauan perekrutan guru sekaligus sebagai syarat untuk memperoleh kenaikan gaji. Menaikan tingkat kesejahteraan guru memang merupakan salah satu jalan keluar untuk meningkatkan perhatian, fokus, dan kualitas guru terhadap  pendidikan bangsa. Akan tetapi hal tersebut janganlah dipandang sebagai satu-satunya alasan rendahnya kualitas pendidikan negeri ini.

Guru sebagai Korban
Terakhir, pereduksian peran dan fungsi Guru yang tengah terjadi tentu tidak dapat kita lepaskan dari sistem besar yang tengah menggerogoti kehidupan bangsa ini. Sistem yang berorientasi pada keuntungan materil dan jauh dari nilai-nilai luhur bangsa dan agama melahirkan paradigma pendidikan yang tidak lagi melihat pendidikan sebagai usaha untuk membebaskan dan memerdekakan. Akan tetapi pendidikan tidak lebih merupakan komoditas yang dapat dijual dan diperdagangkan. Sistem pendidikan nasional, kurikulum, dan pendanaan pendidikan menjadi korban utama arus marketisasi tersebut.

Guru sebagai bagian dari sistem tersebut juga merupakan korban langsung dari penyakit yang sedang mendera pendidikan bangsa ini. Untuk memperbaiki kualitas pendidikan nasional yang tidak jua menunjukan perbaikan yang signifikan, sudah sepantasnya Guru mendapat porsi yang lebih dalam mengembalikan kembali peran dan fungsi luhurnya. Menghidupkan kembali istilah ‘Guru’ baik secara maknawi dapat mengembalikan lagi ruh guru yang kian hilang. Pembenahan sistem pendidikan dan perekrutan guru serta penjaminan kesejahteraan bagi guru merupakan sebuah keharusan yang mendesak.

Penghormatan dan revitalisasi guru secara struktural dan kultural mutlak diperlukan jika bangsa ini benar-benar ingin memperbaiki jiwanya!



(Tulisan ini pernah ditampilkan dalam event Wajah Muslim Indonesia 2010. Saya posting kembali untuk memperingati Hari Guru pada hari ini, 25 Nov 2011)

Jumat, 18 November 2011

Sajak: Senyum yang Mencintai Kopi

            : Ismanto

selamat pagi kopi. cangkir yang berisi perkenalan dan bebulan separuh jalan.
dirimu tengah meneguk tegukan setengah, menengadah,
menikmati kopi yang tidak lebih pahit dari hidup yang sedang kita perbincangkan.

“aku mencintai kopi, lebih dari puisi,” sergahmu kepada sebatang kretek
yang mengepulngepulkan embun dan beberapa sajak separuh rupa
kamu lalu tertawa, mengeluarkan beberapa sisa mimpi yang belum tuntas dicerna oleh perut kamu yang hampir buncit berisi baitbait tentang ibu dan kekasihmu.

sarapan kita hanyalah lanjutan percakapan, sepiring mau, secangkir ingin.
“tapi ini sudah lebih dari cukup,” senyummu, “asali woluwo kopi.

beberapa bulan nanti, aku kaget, melihat dirimu sudah memiliki kastil kecil
dari serpih kopi, remah mimpi. inikah puisi yag kamu buat dulu? sebegini bentuk?

ah, selamat pagi kopi. aku, tibatiba, mencintai kopi, sambil menyeruput puisi.


Makassar, 191111

Kamis, 17 November 2011

Sajak: Pohon Api

aku turun dari rumah, hari senin,
menuju hutan yang dipenuhi buku dan anak muda bermuka dukun
aku berniat mencari sebuah goresan buatan tangan
sebagai nama bagi anak pertama yang sudah sepuluh bulan tertunda lahir.
ayahku terlampau ingin jadi ayah, sudah lama ia tak mengenakan
baju kerawang yang dibeli ibu dengan bantal dan sebuah puisi dari dapurnya.

aku turun dari rumah, pukul sepuluh lebih lima,
menuju hutan yang sudah penuh dengan bongkahan batu yang terbang gemilang
seperti gunung runtuh, melempar hatihati sekeras batu
teriakan makhluk hutan, serupa kera, sehabis berebut pohon
saling membakar dahan-ranting-pepohon, sekaligus buah yang tidak pernah mekar ranum

aku rasa aku salah tujuan. keliru titian. salah masuk hutan.

pohonpohon berubah merah, memancar-mancarkan abu penuh kepalan
seperti bangunan merah kelam. hitam tua.
langit yang tibatiba malam berubah jadi kubah
yang sesak oleh teriakan: mahlukmahluk hutan yang ketakutan.

malam silih meretih. aku akhirnya dilerai pulang oleh rasa yang mirip sedih.
aku rasa aku tidak salah tujuan. cuma tidak cukup pulang untuk melihat pohon api dan burung ababil.



Tepi Kampus, 171111

Rabu, 16 November 2011

Israel Serang Iran Sebelum Natal

LONDON - Inggris memperkirakan Israel akan melakukan penyerangan ke Iran sekira Desember mendatang. Setidaknya penyerangan ini diperkirakan akan berlangsung sebelum Natal mendatang. Sebelumnya Menteri Luar Negeri Inggris William Hague memperingatkan Parlemen Inggris, bahwa program senjata nuklir Iran dapat memicu perlombaan senjata nuklir di Timur Tengah.

Laporan adanya pengembangan senjata nuklir dari Iran ini tidak terlepas dari temuan Badan Atom Internasional (IAEA) yang menyebutkan, Iran memang mengembangkan fasilitas uji coba nuklir, hulu ledak nuklr, dan model komputer untuk hulu ledak nuklir yang dapat dipasang pada rudal milik Iran yang ada saat ini. Atas laporan tersebut, Israel pun langsung bergerak. Pejabat Kementerian Pertahanan Inggris memperkirakan Israel akan melakukan serangan sebelum Natal tahun ini.

"Kami perkirakan (serangan) akan terjadi sebelum Natal atau paling tidak pada awal tahun depan," jelas pejabat yang enggan disebutkan namanya tersebut seperti dikutip Daily Mail, Kamis (10/11/2011). Sementara menurut seorang pejabat senior Kementerian Luar Negeri Inggris, pihak sudah dikabarkan mengenai tindakan militer yang akan dilancarkan oleh Israel.

Serangan ini sendiri diyakini akan mendapatkan bantuan dari Amerika Serikat (AS). Presiden Barack Obama pun dipastikan akan memberikan dukungan penuh Israel. Berdasarkan pengamatan para pejabat Inggris, Obama memberikan dukungan tersebut karena dirinya tidak ingin kehilangan sokongan dari komunitas Yahudi Amerika dalam pemilihan presiden mendatang.

Sementara Kementerian Pertahanan Inggris mengaku telah mempersiapkan rencana awal, bila pada saatnya nanti Inggris memutuskan untuk membantu penyerangan terhadap Iran. Tetapi pejabat Inggris menepis adanya dukungan langsung dalam penyerangan ini. Bukan kepemilikan senjata nuklir Iran yang dikhawatirkan Inggris. Mereka justru mengkhawatirkan bila pada saatnya nanti Arab Saudi dan Turki turut mengembangkan senjata nuklir mereka. Kalau kedua negara mengembangkan senjata nuklir, dipastikan akan terjadi perlombaan senjata nuklir Timur tengah.

Untuk itu, Menlu Inggris William Hague akan mendorong diterapkannya sanksi baru yang lebih tegas kepada Iran. Hal ini dapat menghalau Iran dalam mengembangkan program nuklirnya.

Sedangkan Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad bersikeras negaranya tidak akan mundur dari program nuklir mereka. Ahmadinejad menilai, hasil laporan IAEA telah mendeskreditkan pihaknya karena dikeluarkan atas dasar tuduhan absurd AS.


Sumber: http://international.okezone.com/read/2011/11/10/412/527449/israel-serang-iran-sebelum-natal

Selasa, 15 November 2011

Bus Hulonthalangi: Solusi atau Distorsi?

ADALAH Bus Hulothalangi, bus kuning-biru yang dua tahun terakhir mondar-mandir di jalan-jalan utama kota Gorontalo. Dengan penampilan yang elegan, bus transit bantuan pemerintah pusat ini menjadi ‘andalan’ baru pemerintah Kota Gorontalo dalam kebijakan transportasi publiknya. Ongkosnya yang sangat terjangkau, trayek yang teratur, keamanan dan kenyamanan yang memadai, dan ketersediaan fasilitas penunjang yang cukup lengkap seolah merupakan jawaban atas segala kritik terhadap ongkos, masalah trayek, dan keamanan yang dimiliki oleh moda transportasi nomor satu Gorontalo: bentor.

Menyoal masalah transportasi di Kota Gorontalo, hingga beberapa tahun lalu sarana angkutan umum di Kota Gorontalo hanya dilayani  oleh AKAP dan AKDP untuk perjalanan dari dalam kota menuju keluar Kota Gorontalo dan sebaliknya. Sedangkan untuk perjalanan dalam kota dilayani oleh bentor dan bendi saja. Padahal, bentor dan bendi belum dianggap sebagai angkutan untuk umum yang baik karena rute pelayanannya yang tidak teratur sehinga mengakibatkan ketidakteraturan tatanan transportasi Kota Gorontalo.

Walaupun dari segi keselamatanpun, bentor belum memenuhi standar keselamatan berkendara dan peraturan yang menjadi pegangan operasionalnya. Tetapi fleksibilitas, aksesibilitas, dan kemudahan-kemudahan lain yang dimiliki bentor akhirnya menjadikan bentor begitu diminati. Kendaraan beroda tiga ini pun menggeser hingga mematikan operasi angkutan perkotaan lainnya yang dianggap kurang fleksibel (waktu  tunggu lama dan tidak door-to-door sevice). Permintaan dan minat  masyarakat yang besar ini akhirnya membuat produksi bentor tak terbendung. Dalam sehari, 250-300 bentor diproduksi.

Bus Hulonthalangi (sumber: rizkydarise.blogspot.com)
Pertambahan jumlah bentor yang begitu pesat memicu pemerintah agar membatasi produksi bentor di Gorontalo utamanya di Kota Gorontalo. Berbagai upaya dan kebijakan coba diterapkan untuk membatasi jumlah bentor. Terakhir, pada tahun 2010, Kota Gorontalo terpilih menjadi salah satu pilot project pengembangan sistem transit yang dikembangkan pemerinta pusat dan daerah. Diluncurkanlah Bus Trans Hulonthalangi sebagai alat transportasi perkotaan yang efektif dan efisien di Kota Gorontalo. Dengan tarif Rp. 2000, Bus Trans Hulontalangi diharapkan dapat menjadi alat transportasi massal yang melayani penumpang dengan tarif yang murah, aman, dan nyaman.

Namun, dalam dua tahun masa operasinya, Bus Trans Hulonthalangi belum menampakan ‘gigi’nya sebagai moda transportasi publik yang handal di Gorontalo. Dalam pengamatan penulis, bus ini malah lebih sering dipakai sebagai bus “parawisata” atau bus keliling-keliling kota ketimbang tujuan awalnya sebagai bus transit. Pertanyaan kemudian adalah bagaimana efektivitas dan efesiensi Bus transit Hulonthalangi sebagai alat transportasi publik di Gorontalo? Apakah bus model ini sudah pas dan tepat untuk kondisi Kota Gorontalo? Dan apakah kehadiran bus ini dapat menggeser alat transportasi seperti bentor?

Dari hasil pengamatan (dengan siswa, mahasiswa, pegawai, dan masyarakat umum sebagai sampel) berdasarkan frekuensi penggunaan bus perminggu terlihat bahwa pengguna terbanyak Bus Transit Hulonthalangi adalah siswa. Menyusul mahasiswa dan pegawai. Sementara masyarakat umum hanya sekitar 3% dari responden yang menggunakan Bus Hulonthalangi. Diantara pengguna tersebut, 46% menggunakan Bus Hulonthalangi sebagai moda transportasi pengganti bentor dengan 23% diantaranya adalah siswa. Sementara, 33% dari responden menggunakan Bus Trans Hulonthalangi untuk tujuan rekreasi/jalan-jalan. Dari sini terlihat bahwa Bus Hulothangi oleh persepsi mayoritas masyarakat Kota Gorontalo terhadap fungsi moda transportasi ini masih sangat terbatas. Kebanyakan masyarakat belum mengetahui maksud dan tujuan diadakannya moda transportasi ini. Sosialisasi yang minim membuat banyak masyarakat yang masih bertanya-tanya tentang peruntukan Bus Hulonthalangi ini.

Padalah, dengan pertumbuhan fisik Gorontalo yang pesat, arus datang manusia yang besar, dan meningkatnya jumlah kendaraan seharusnya turut diikuti oleh meningkatnya kesadaran pemerintah dan masyarakat akan pilihan pada transportasi. Asusmsi bahwa “masih lama Gorontalo akan macet” seharusnya sudah dibuang jauh-jauh. Sebelum Gorontalo dibanjiri kendaraan pribadi plus bentor dan semuanya menjadi semakin kompleks. Maka sedari sekaranglah kesadaran itu harus dibangun.

Tidak cukup dengan membentuk kesadaran sedari awal, sistem yang dibangun pun haruslah tepat, mudah, dan integratif. Tepat dalam artian sesuai dengan kondisi geografis Gorontalo, mudah di akses, dan saling berintegrasi antar satu dan lainnya. Salah satu kekurangan dari Bus Hulonthalangi adalah sistemnya yang seolah berdiri sendiri. Tidak terintegrasi dengan moda transportasi lainnya seperti angkutan kota dan bentor. Sehingga bus ini oleh para abang bentor dan supir angkutan lebih dilihat sebagai “saingan” daripada “teman”. Bentor, angkutan, dan Bus Hulonthalangi seharusnya tidak berada dalam kerangka substitusi, tapi komplementer. Dari sisi pengguna, integrasi sistem transportasi akan mempermudah masyarakat pengguna yang ingin berpindah atau menyambung tujuan ke daerah yang tidak memiliki trayek bus.

Selanjutnya, optimalisasi infrastruktur pendukung sistem Bus Hulonthalangi seperti halte patut dilakukan. Karena banyak (dari hasil penelitian sekitar 31%) pengguna yang mengeluhkan masalah halte. Baik karena jarak dari tempat tinggalnya, atau karena kondisi halte yang tidak kondusif karena terik atau hujan. Jika halte ini dibuat nyaman, hal ini akan dapat meningkatkan jumlah pengguna bus. Bahkan halte yang nyaman dapat digunakan sebagai media sosialisasi (melalui pamflet atau selebaran-selebaran) terkait masalah lalu lintas dan transportasi.

Terakhir, memperhatikan kinerja dan operasionalisasi Bus Transit Hulonthalangi dua tahun ini, seharusnya sudah membawa sedikit perubahan terhadap pola penggunaan transportasi masyarakat Gorontalo. Butuh kerja keras dan konsisten untuk menciptakan sebuah sistem transportasi yang handal dan integral. Jika tidak, maka bus ini hanya akan menjadi sekedar proyek yang tidak bermanfaat apa-apa bagi masyarakat. Sebelum terlambat, mari berbenah!


(Tulisan ini pernah dimuat di Jurnal Kebudayaan Tanggomo edisi III, Agustus-Oktober 2011)

Minggu, 13 November 2011

Sebelum Diskusi Mati di Tamannya Sendiri

Maka bila melihat negeri dikuasai para bedebah
Usirlah mereka dengan revolusi
Bila tak mampu dengan revolusi, dengan demonstrasi
Bila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi
Tapi itulah selemah-lemahnya iman perjuangan!
(Negeri Para Bedebah-- Adhie M Massardi)

Kecemasan soal sepinya atmosfir diskusi di taman intelektual kian mengemuka. Di beberapa edisi media ini, fenomena krisis budaya diskusi selalu diangkat—bahkan menjadi headline (Identitas, Akhir Maret 2011). Fakta-fakta kasat mata semakin menguatkan ironi: saat gairah diskusi merosot tajam, gairah inagurasi dan futsal-isme begitu digandrungi. Apa yang sebenarnya terjadi?

Diskusi di Zaman Sertifikat
Di zaman ketika positivisme-materialisme menjelma menjadi berhala-berhala baru, aktivitas apapun yang tidak menghasilkan keuntungan-keuntungan material menjadi tidak menarik. Tidak dibutuhkan. Mirisnya, aktivitas seperti diskusi pun turut terjebak dalam kerangkeng logika ini. Diskusi bagi sebagian orang akan sangat menarik jika diskusi (dalam bentuk apapun itu) tidak hanya memberikan sajian ilmu: harus pula menyajikan secarik sertifikat. Sekarang, diskusi tanpa sertifikat adalah diskusi yang tidak produktif.  Bobot dan topik diskusi menjadi nomor dua. Nomor satu adalah sertifikatnya.

Di wilayah akademik, Student Center Learning (SCL) yang digembar-gemborkan sebagai metode baru yang bisa merasangkan keaktifan dan daya intelektual mahasiswa ternyata layu sebelum berkembang. Keterbatasan sarana, tenaga pengajar dan kemampuan dasar SCL yang sudah dianggap biasa malah menghasilkan proses mengajar yang setengah-setengah (Identitas, November 2008). Metode diskusi dan presentase pun menjadi pilihan utama proses belajar-mengajar model ini. Budaya diskusi dalam kelas mulai tumbuh. Hanya saja budaya dan gairah ini dilakukan lebih atas tekanan perkuliahan dan motivasi “nilai”. Banyak bertanya sama dengan bagus nilai-nya. Bagus nilai berarti tinggi IP. Tinggi IP dan bagus nilai, cepat selesai! Logika seperti ini yang juga terus ditanam di kepala mahasiswa sejak Penerimaan Mahasiswa Baru. Logika yang turut memberi sumbangsih besar atas semakin tergerusnya budaya diskusi.

Hal ini kemudian diperparah oleh lembaga kemahasiswaan yang juga turut terjerembab ke dalam lumpur pemahaman positivistik. Ada kecenderungan dalam tubuh lembaga kemahasiswaan yang memandang bahwa diskusi hanya sebagai bagian dari program kerja lembaga yang harus direalisasikan. Parameter keberhasilannya pun hanya diukur dari terlaksana atau tidak terlaksananya kegiatan. Persoalan kualitas wacana dan kuantitas partisipan tidak menjadi masalah utama. Lihatlah kegiatan diskusi kampus belakangan ini: diskusi-diskusi “canggih” yang berbentuk seminar, simposium, kuliah tamu, dan sebagainya cukup gencar digelar oleh lembaga kemahasiswaan. Namun, diskusi “rakyat” semacam diskusi koridor/pelataran kian minim ditemui. Diskusi-diskusi “rakyat” cuma melimpah saat bulan-bulan pertama kedatangan mahasiswa baru. Selepas masa perkaderan, kembali ke keadaan krisis diskusi. Kalaupun ada, peminatnya pun minim.

Melihat minimnya atensi dan animo mahasiswa terhadap budaya diskusi, bukannya mencari inovasi atau kreasi metodologi diskusi, lembaga mahasiswa malah berbelok arah. Memilih program kerja dan aktivitas yang digandrungi oleh orang kebanyakan. Maka semaraklah pertunjukan-pertunjukan euforik ala SMA dan sindrome futsal-isme. Kampus yang lebih diharapkan sebagai “juru selamat” masalah-masalah masyarakat malah disibukan dengan aktivitas-aktivitas yang semakin menjauhkannya dengan masyarakat.

Paradoks
Ada juga paradoks soal budaya diskusi: ketika diskusi di kampus sepi, diskusi di “kampus maya” kian ramai. Budaya diskusi face to face yang terpuruk sepertinya berbanding terbalik dengan fenomena meledaknya jejaring sosial berserta seperangkat fasilitasnya yang membuat manusia kian nyaman dengan kesendiriannya. Grup, threat, topik dan kawan-kawannya semakin berjubel di dunia maya. Dengan berbagai macam nama, komunitas hingga gerakan-gerakan sosial tumbuh subur di jejaring sosial. Fenomena ini sah-sah saja sepanjang dilakukan secara proporsional dan tepat sasaran. Namun, ketika fenomena ini juga turut membuat manusia kian malas melakukan aktivitas-aktivitas fisikiah, maka itu menjadi masalah. Di kampus, fasilitas wifi gratis sudah tersedia dimana-mana. Dari ruang kelas, ruang tunggu, hingga di sekretariat lembaga-lembaga kemahasiswaan orang bisa dengan mudah “masuk” dan terjun dalam dunia artifisialnya yang baru. Atas nama kenyamanan dan ketersediaan fasilitas di kampus ini, penguat-penguat signal dijejali di semua langit-langit fakultas. Signal akan semakin kencang. Berselancar akan semakin nyaman. Dan pastinya diskusi di dunia nyata akan semakin terlihat membosankan. Padahal dunia nyata yang sedang kita tinggali membutuhkan lebih dari sekedar “perubahan maya”.

Lebih lanjut, sepinya budaya diskusi ini bisa mereprentasikan kelesuan pergerakan dan semangat perubahan mahasiswa. Pergerakan yang terus terjebak pada masalah-masalah lama (yang bersifat momentum, arogansi warna, hingga gerakan yang ditunggangi) membuat mahasiswa merasa jenuh dan nyaris putus asa dengan idealismenya sendiri. Di tengah negeri yang semakin dipenuhi para bedebah dan cukong-cukong idealisme, kampus malah memenjarakan mahasiswa yang masih punya mimpi-mimpi besar soal perubahan. Dikotomi aktivis dan akademis terus digaungkan oleh birokrat. Seolah-olah jika kita menjadi penggiat wacana, pemburu diskusi, dan pecinta gerakan maka kita harus siap-siap ber-IPK rendah dan paling akhir selesai studi. Tugas utama kita hanyalah belajar, cepat selesai, dapat pekerjaan bagus, berkeluarga, punya kehidupan yang sukses, lalu mati. Alangkah lucu dikotomi dan stigma seperti ini. Sebab, bukankah seorang akademisi lah yang seharusnya berada di front terdepan dalam hal perubahan? Dialah yang lebih tahu. Dialah yang paham. Dan seharusnya, dialah yang lebih gelisah dan lebih aktif menggalang perubahan!

Akhirnya, budaya diskusi semakin terpojok di taman yang seharusnya menjadi ladang subur bagi dirinya. Budaya diskusi bukan hanya masalah sharing knowledge. Lebih dari pada itu, dia adalah pelecut bagi sebuah perubahan. Diskusi adalah sebuah karya peradaban yang sudah terbukti paling produktif dan solutif. Budaya diskusi seharusnya tidak kalah dengan budaya debat dan budaya-budaya tidak sehat yang kini juga mulai menjangkiti masyarakat kita. Sudah saatnya kita merasa terpanggil dengan kemirisan ini! atau, kita mungkin sudah begitu nyaman menjadi alien-alien yang bernama mahasiswa?


(Tulisan ini dimuat di Majalah Identitas Edisi Awal April 2011)

Kamis, 03 November 2011

Ruang Tunggu


Aku tiba pukul dua belas lewat dua.
Di bandara tua yang sudah lama minta pensiun. Karena tak sanggup lagi menjadi tuan rumah yang ramah bagi tamutamu yang turun dari langit. Bandara itu masih lengang sepi, hanya ada petugas yang menyungging senyum dengan senyum yang lebih mirip dayung daripada perahu. Tak apalah, ku hibur hatiku yang menggerutu, mungkin upah menjadi buruh menengah tidak cukup untuk menghadapi luapan riuh hidup yang semakin mirip angin di pantai kota ini, kota yang dipeluk dua lengan dari tetumpuk tanah.

Pintu pendeteksi logam menegurku dari percakapan heboh dengan suara tak dikenal di kepalaku. Seorang petugas, wanita setengah tua, menodong pinggul dan kantongkantongku dengan tongkat sihir yang bisa memberitahunya perihal logamlogam yang menakutkan. Dia terseyum. Pertanda bahwa tongkat sihirnya memberitahu bahwa aku orang baik. Akupun tersenyum kepada wanita itu. Dengan perahu paling lengkung. Tanda bahwa ia bukanlah nenek sihir, cuma seorang ibu yang harus membagi partikelpartikel hidupnya antara anakanak dan suaminya yang tua dengan bandara ini yang tak kalah renta.

Di ruang tunggu, sudah menunggu banyak deret kursi bermantel hitam. Saling berhadapan. Dengan jarak-hadap yang sangat irit. Mungkin bandara tua ini ingin mengajarkan tamunya untuk saling menyapa dengan tutur, bukan hanya dengan lutut yang saling bentur.

Mutiara Waiting Room
Ruang tunggu yang bernuansa hollywen itu perlahan mulai menyempit, mulai dipenuhi karbondioksida sisa pembakaran dari hidunghidung yang mulai memenuhi ruangan ini, seperti pasar malam. Aku mulai merindukan suasana yang lampau—yang sepuluh menit lalu. Aku mulai merindukan fragmen ketika aku bisa menikmati ruang tunggu ini tanpa menunggu siapasiapa. Tanpa ditunggu siapasiapa. Mungkin titik dan dimensi seperti ini adalah dimensi yang sama yang pernah dirasakan Adam, sampai dia menyadari bahwa dia butuh teman bicara selain pikiran, malaikat, dan Tuhan yang Maha Berfirman. Tapi bedanya, aku saat ini adalah vice-versa nya. Versi terbaliknya. Dari dunia yang penuh Hawa dan manusia, ingin merasakan dunia yang seperti ruang tunggu ini: hanya persinggungan kodrat fisika yang tidak 'benarbenar' menunggu atau ditunggu. Tapi aku akhirnya kalah dengan waktu yang pelit untuk memberiku kesempatan dalam rentang lengannya yang panjang. Ruang tunggu kian sesak. Pengumuman bersuara berat membuat penumpang bertujuan sama denganku, mengeluh. Aku mafhum. Negara yang aku tempati memang penghasil karet terbesar di dunia.

Nyaris dua jam. Akhirnya, merek pesawat yang akan ku tumpangi disebutsebut.
Karcis di robek. Udara di luar sedikit mendung. Sebelum naik, aku menghambur pandangan. Ke lenganlengan bumi. Lenganlengan yang memeluk kota ini. Aku suka gunung. Satusatunya hal yang, dalam perjalanan singkat ini, ku sukai dari kota ini. Sebab, di kota yang ku tuju, gunung berada jauh dari pandang, tersembunyi di balik belukar dari percampuran besi, kerikil, pasir, air, dan semen.

Tahutahu, tubuhku dalam beberapa menit sudah berada di kursi pesawat yang, lagilagi, tua. Bersama seorang bapak paruh baya beruban dan saudaranya yang kirakira seumuran denganku. Sebenarnya, aku meminta duduk di kursi dekat jendela. Tapi bapak itu sudah duduk disitu, lebih dulu. Ku biarkan saja. Membiarkan bapak itu menikmati keringatnya untuk naik pesawat yang, sepertinya, jarang bisa jangkau oleh dompet rumahnya.

Sepanjang jalan yang tak berambu, aku terus menulis. Menulis, entah untuk apa dan siapa.
3.29 sore, suara wanita dari microphone pesawat memberitahu bahwa burung besi yang aku tumpangi akan segera bertenger.


Mutiara-Hasanuddin, 0201111

Rabu, 02 November 2011

Sajak: Rumah Remah

Rumah
rumahrumah seperti remah bawang yang riuh
digoreng disebuah wajan yang terbuat dari gegunung setengah hijau

orangorang menyapih hidup dengan perjalanan panjang dari dunia berantah
dunia serapah

aku, berbaring dengan udara yang membuat pikiranku memerlukan tiupan
dari mulutmu yang embun
kau, di ujung. aku, di tengah.
kita teperangkap dalam sebuah percakapan yang terpaut biru laut
percakapan tentang masamasa nanti yang telah kita lewati

Remah
orangorang lalulalang, dengan seribu petualang

aku, duduk di kursi sebuah hotel yang paling tidak membuat kantong ku berteriak
seraya mengirimi mu ucapan selamat siang dari perut yang belum makan dari pagi.
tapi begitulah rindu, ketika hati penuh, dia mengisi perut
membuat lapar tak betah. membuat aku menikmati jarak dan kota ini.

kota ini adalah remah yang dilahap para petualang
petualang yang datang dari langit selatan, langit tak berpenjuru.


Palu, 011111



Kamis, 27 Oktober 2011

Sajak: Hari Sampah Pemuda

Tak ada lagi sumpah
sekarang tinggal serapah

Tak ada lagi janji setia
kini tinggal ingkar apologia

Lalu cuma tersisa sekonyong daging muda
segar
tak punya mimpi, kecuali mimpi yang basah
mimpi yang kental, anyir, dan hitam kelam

Tak ada lagi sumpah
tinggal setumpuk sampah: bernama pemuda.


28102011

Kamis, 20 Oktober 2011

Over?

Aku sebenarnya masih tidak paham: bagaimana bisa pra-sangka dan over-judging masih bisa menimpa orang-orang yang, menurutku, cerdas dan lebih dewasa?

Semoga ini tidak tersimplifikasi sebagai kurangnya komunikasi. Juga tidak tergeneralisasi sebagai non grata yang lahir dari tumpukan penglihatan yang 'diluar jangkauan'.

Setiap generasi memiliki masalah, kondisi, dan solusi nya masing-masing. Aku percaya itu.

Senin, 03 Oktober 2011

Piknik Penyair, Mengais Puisi di Tepi Danau Limboto

Untuk kali kedua, saya melewatkan acara unik dan berkesan yang sering dilakukan oleh teman-teman di Komunitas Sastra Tanpa Nama (KSTN) Gorontalo. Untuk kali kedua, saya hanya bisa membaca reportase dan sekeranjang foto-foto tentang betapa mengasyikkannya piknik ini. Tapi sudahlah, saya hanya ingin sedikit berbagi tentang kegiatan para tukang puisi di Gorontalo ini. Berikut reportasenya.


***

Sehelai kertas terlipat diletakkan begitu saja di meja marmer, seorang lelaki baru saja menuliskan sesuatu di sana, tak lama kemudian rekannya menyusul, gantian menuliskan sesuatu lagi, terus hingga berganti beberapa orang.

Langit senja kian merah merekah  oleh matahari yang hendak tenggelam, Kamis (29/9),di tepi danau Limboto, tepatnya di Museum pendaratan Soekarno, Desa Iluta, Kabupaten Gorontalo, sembilan anak muda bergantian menyambangi sehelai kertas, baris demi baris puisi mereka torehkan.

Mereka adalah sekelompok penyair muda yang tergabung dalam Komunitas Sastra Tanpa Nama (KSTN) Gorontalo, aktivitas di atas adalah bagian dari apa yang mereka namakan sebagai “Piknik Para Penyair”, semacam media berekspresi sekaligus bereksperimen dalam menulis puisi.

“Yang kami lakukan kali ini adalah menulis puisi bersama, dengan gaya bebas,” kata Jamil Massa, salah seorang anggota KSTN Gorontalo.

Ide untuk menulis puisi bareng ini, sebutnya, sebenarnya meminjam  dari aktivitas komunal lainnya, seperti halnya komunitas  fotografer yang lazim melakukan aktivitas berburu foto bersama, dengan hanya bersenjatakan pena dan kertas, mereka kemudian mencoba saling berbagi cara pandang dan kedalaman menyelami makna, melalui puisi.

Menariknya lagi, setiap orang  tidak perlu menyimak atau mengetahui baris puisi yang sudah ditulis terlebih dahulu oleh orang lain, karena yang ingin dicapai bukanlah kesinambungan logika kalimat, namun lebih pada saling membagi sudut pandang.

“Setiap kepala punya persepsi, sudut pandang dan pemaknaan yang berbeda meski dihadapkan pada obyek yang sama, kami berusaha untuk tidak saling mengintervensi,” ujar Ismanto Athief Lihawa, pentolan KSTN lainnya.

KSTN yang didirikan sejak dua tahun lalu,  merupakan wadah para penyair muda di Gorontalo  untuk saling belajar, bersama-sama menempuh “jalan sunyi”, yakni puisi, anggotanya  datang dari berbagai latar belakang, mahasiswa, wartawan, hinggga pedagang kelontong.

Sebelumnya, komunitas sastra yang juga mencetuskan berdirinya Jurnal Kebudayaan Tanggomo ini, juga pernah melakukan “Piknik Penyair”, digelar di masjid Walima emas, Desa Bongo, Bubohu, yang terletak di lereng bukit.

Danau yang sarat puisi

Pada kali kedua kegiatan serupa, mereka memilih museum  pendaratan Soekarno, salah satu obyek wisata sejarah yang dibangun  untuk memperingati kunjungan perdana presiden RI pertama itu ke Gorontalo, pada 1950 silam.

“ Ada sesuatu yang puitis, yang bisa dikais dari tempat ini,” ujar Ishak Sambayang dan Arther Panther Olii, penyair dari KSTN.

Hingga kini, maksud dan tujuan kedatangan sang proklamator di Gorontalo kala itu masih simpang siur. Ada mengatakan untuk meneguhkan keutuhan Negara Kseatuan Republik Indonesia, namun ada versi yang mengatakan kedatangannya untuk  mencari sesuatu yang berbau spiritual.

Yang jelas, di dalam museum berbangunan tua itu, terpajang beberapa koleksi foto yang diambil saat kedatangan Soekarno di Gorontalo, yang disambut para petinggi daerah setempat.

Danau limboto dan museum itu memiliki keterkaitan erat, sebab di danau terbesar di Gorontalo itulah, Soekarno melakukan pendaratan dengan menggunakan pesawat Amphibi, ini  memberikan petunjuk sekaligus gambaran bahwa betapa pada masa itu, luas dan kedalaman danau terbesar di Gorontalo itu, masih memungkinkan sebagai tempat transportasi.

Hal itu berbanding terbalik dengan kondisi danau Limboto saat ini, sebagian besar permukaannya tertutupi gulma, menurut catatan badan Lingkungan Hidup, Riset, Teknologi dan Informasi (Balihristi) setempat,  kedalaman air danau ini tinggal 2,5 meter saja,dengan luas tersisa 3.000 hektar.

 Padahal puluhan tahun lalu, kedalaman  danau ini masih mencapai 30 meter, dengan luas 7.000 hektar, ini terjadi akibat tingginya sedimentasi, kegiatan pembukaan kegiatan pembukaan hutan  di daerah hulu sungai yang menjadi sumber tangkapan air.

Danau ini juga menyimpan banyak mitos dan legenda, konon sekitar abad ketujuh belas, Danau Limboto  menjadi saksi bisu perjanjian damai oleh  dua orang pemimpin kerajaan yang terlibat perang saudara selama ratusan tahun, yakni Popa dan Eyato. Masing masing adalah raja Limboto dan Gorontalo. Peristiwa  itu dikenal sebagai perjanjian Popa-Eyato.

Kedua pemimpin kerajaan itu lantas  menenggelamkan dua cincin berkait di dasar danau, di sana juga alat-alat perang kedua pasukan dikaramkan, mitos menyebutkan apabila cincin berkait itu ditemukan, maka perang saudara akan terulang kembali.

“Konflik kepemilikan lahan yang berkepanjangan, dan kepentingan para elit politik, membuat penanggulangan danau Limboto kian runyam, rasanya ini adalah perang saudara dalam bentuk yang lain,” begitu kesimpulan dari para penyair muda itu.

Gelap kemudian perlahan merayapi bangunan  museum bersejarah di tepi danau Limboto yang tambah susut oleh kemarau, dan sejumlah anak muda itu  beranjak pulang.

 “Senja memilih diam, kemana cincin berkait itu berkubur, aku mau ziarah, lelaki yang porak poranda usai perang saudara, di sekujur tubuh kubiarkan sampan terjembab di bongkah tanah gersang..” begitu salah satu bait puisi yang terbaca di kertas lusuh itu .
(ANTARA)

Cerpen: Tembok-Tembok yang Marah

Kampus sedang gempar. Rektorat dan organ-organ mahasiswa sedang terlibat dalam saling tuding dan saling klaim. Bagaimana tidak, kampus yang selalu diusahakan rapi, asri dan bersih seminggu ini penuh dengan coretan-coretan besar, warna-warni, dalam jumlah massif dan (yang paling membuat rektorat gerah) dibanjiri slogan serta tuntutan-tuntutan yang sangat propagandis. Dalam tujuh hari ini saja, Fakultas Kesehatan Masyarakat dan Fakultas Kedokteran Gigi sudah mirip galeri lukisan mural di kolong-kolong fly-over ibukota. Kalimat-kalimat “tuntut hak mu pada anjing-anjing rektorat!”, “universitas bukan pabrik!”, dan berpuluh-puluh kalimat yang bisa menyengat ketenangan kampus membanjiri dinding-dinding ruangan, tembok-tembok kampus. Yang lebih menggemparkan lagi, tulisan-tulisan itu tidak stagnan tapi terus bertambah. Dari jam ke jam, hari ke hari, seolah-olah corat-coret itu hidup dan terus bereproduksi. Saat aku lewat di fakultasku hari ini,—fakultas terakhir yang masih “steril”—sudah mulai dijalari panu-panu dinding yang menjadi alasan saling tuding pelaku itu.

Secara pribadi, aku sendiri hanya ingin tertawa melihat perangai pihak rektorat dan organ-organ mahasiswa yang kekanak-kanakan. Pihak rektorat menuduh lembaga dan organisasi-organisasi mahasiswa sebagai aktor intelektual dan aktor operasional dari gerakan destruktif versi rektorat ini. Di pihak lain, organ-organ mahasiswa menuduh balik bahwa rektorat sengaja menghadirkan dan membesar-besarkan kasus ini agar memiliki justifikasi dan dalih pemberlakuan Prosedur Tetap Ketertiban dan Keamanan Kampus (biasa oleh para aktivis disingkat Protab Ketiban-mampus). Organisasi-organisasi kiri menjadi sasaran utama tudingan birokrat kampus dan lembaga-lembaga mahasiswa yang suka cari muka pada rektorat. Memang, beberapa organisasi ekstra yang “kiri”, seringkali menggunakan metode-metode wall propaganda untuk menebar “ajaran” sekaligus upaya “promosi” keberadaan mereka. Setahuku, biasanya dalam coretan dindingnya mereka turut memasang atribut atau logo gerakannya. Semisal huruh “A” dalam lingkaran yang merujuk pada gerakan anarko yang cukup intens memakai metode wall propaganda ini.

Tapi kali ini bukan saja tanpa identitas gerakan, front, apalagi organ, malah tulisan-tulisan itu sama sekali tidak berciri satu mazhab gerakan atau organisasi manapun. Kemulti-tuntutan-an ini yang turut mempertajam perang-tuding. Propaganda-propaganda yang muncul tidak saja tuntutan-tuntutan besar semisal “kapitalisme haram menampakkan dirinya dikampus ini!” atau “Ganti rezim, ganti sistem!” namun tuntutan-tuntutan “populis” seperti “Beri kami WC yang layak atau kami kencingi muka birokrat!” atau “Diktat bukan Jualan!” juga turut serta meramaikan parade tulisan di kampus yang semi-swasta ini.

Birokrat-birokrat kampus, dosen-dosen, elit-elit lembaga mahasiswa, hingga tenaga out-source cleaning service bergaji 300ribu/bulan dibuat kepayang, geram, sekaligus takjub. Disetiap sudut fakultas, di koridor-koridor, kantin, perpustakaan, dan kantor-kantor perbincangan pagelaran tulisan dinding bergema, memantul-mantul dari satu mulut ke mulut lainnya. Bahkan tren topik tidak penting mengenai seorang Brimob berpangkat Briptu yang sedang menjadi headline nasional, seolah tenggelam oleh desas-desus bertema tulisan dinding. Kegemparan yang asing untuk kampus yang terbiasa tidur dan menutup telinga dari realitas dan borok-borok di tubuhnya dan di sekitarnya.

Sementara orang lain pada meradang, bagiku ini adalah sebuah pesta! Pesta yang penuh dengan ekspresi aspiratif yang selama ini hanya ku baca dalam buku-buku teks atau majalah-majalah yang sok mengkritik, hanya ku dengar di tengah ceramah dalam kelas, hanya ku lihat di spanduk-spanduk demonstrasi yang momentuman. Dan kali ini semua itu membuncah sekaligus bersamaan! Waw! Ini seperti sebuah fantasi.

Tulisan-tulisan terus beranak-pinak dengan garis keturunan yang tidak jelas. Kalimat-kalimat satir juga sarkartis terus bermunculan dari satu tembok ke tembok lain. Seperti demonstrasi yang senyap. Silent Chaos yang meluncur dari puncak gunung es. Dari titik salju lalu menjadi tumpahan gunung. Anehnya, tulisan-tulisan itu tidak bereproduksi ketika ada orang yang melihat atau mengamati. Atau ketika orang sedang ramai. Kalimat demi kalimat itu seolah lahir dari keheningan, dari kesepian, dari mulut-mulut dinding yang tercekat. Sepertinya fenomenan ini semacam peristiwa gaib. Namun di zaman positivis ini (apalagi dalam tembok kampus yang begitu memuja agama positivisme) adalah tidak mungkin jika pihak kampus mengumumkan ke khalayak bahwa tulisan-tulisan itu muncul dari dimensi yang metafisik, transeden, atau gaib. Maka dilahirkanlah lembaga-lembaga mahasiswa sebagai “suspect” pelaku. Mirip dengan tehnik yang dipraktekkan oleh dunia Barat dalam menuding para mujahidin sebagai teroris.

Kata seorang temanku dari Fakultas T., warna tulisan-tulisan di fakultasnya itu adalah dwi-warna yang selalu mereka agungkan. “tapi bukankah itu keren?” tanyaku pada temanku itu. Yang ditanya malah mengernyit wajah: “masalahnya, tulisan-tulisan di fakultas kami tidak hanya perihal kecaman terhadap rektorat, kampus, atau pemerintah. Dinding-dinding itu juga bertuliskan kecaman untuk kami, memakai warna kami!”. Aku—sebagai anak fakultas yang kerap terlibat tawuran dengan Fakultas berlambang tengkorak itu—cuma bisa menduga-duga soal kecaman seperti apa yang mereka terima dari tembok-tembok mereka sendiri. Saat ku tanya, temanku itu bersikeras tidak mau menceritakan kecaman apa yang dia maksud. Dia malah balik menuduh anak fakultas lainlah di balik semua ini. Ah, temanku itu, disaat-saat seperti ini seharusnya egoisme dan fanatisme fakultas bukan zamannya lagi. Ada musuh lebih besar yang harus kita hadapi bersama.

Siapa dan mau diapakan musuh-musuh itu satu per satu terus diproduksi, mengalami repetisi yang diasporik. Semua orang di kampusku kini seolah kaget. Seperti seorang anak kecil yang terbangun di tengah malam karena mimpi buruk. Dan dinding-dinding kampus lah yang melakukannya—bukan manusia-manusia yang punya mulut dan tangan.

Siang ini kampus kian ramai. Media-media lokal dan nasional mulai meliput fenomena langka ini. Tapi sayang, bukan apa yang tertulis di dinding-dinding itu yang mereka liput. Manusia-manusia kuli rating itu malah meliput soal warna, pola, dan fenomena kemunculan coret-moret itu dari berbagai perspektif (sangat mirip dengan model pemberitaan crop circle dan UFO) plus beberapa wawancara ekslusif dengan rektor dan dua orang yang diklaim (atau mengklaim diri?) sebagai tokoh mahasiswa. Dan kedua pihak itu masih sama saja dengan sikapnya yang mula-mula: ini konspirasi yang mau menjatuhkan kredibilitas kami.

***

Petang. Malam perlahan jatuh di atap bumi. Kampus sudah sepi. Ternyata dengan level kehebohan setingkat ini pun tidak cukup untuk membuat orang bertahan lama di kampus. Atau mungkin karena “teror” ini, maka kampus kian menyeramkan, kian memuakkan. Tulisan-tulisan di tembok fakultasku kelihatannya masih sama dengan tadi pagi ketika aku datang. Cuma kalau kau benar-benar memperhatikan, sebenarnya sudah ada beberapa kalimat kecaman baru yang tertulis di bawah kalimat besar “Tolak Komersialisasi Pendidikan!”. Tulisan itu masih kecil. Aku duga, tulisan itu baru beberapa menit “lahir”. Aku tak bisa membacanya dari jarak ini.

Aku mendekat. Kalimat-kalimat itu masih terlalu kecil buat ku baca dengan mata minus ku. Dengan jarak 15 senti dari tembok koridor tulisan itu sedikit kentara. Dan perlahan ku dengar suara-suara dari arah tembok itu. Gumam. Ah, tidak, tidak. Bukan gumaman. Ini percakapan. Diantara rasa seram dan penasaran ku dengar tembok-tembok itu bercakap dengan suara seperti dicekik. Lirih.

Bisikan-bisikan itu terdengar seperti erangan yang bercampur dengan rasa muak. Mungkin tembok-tembok ini gerah untuk hanya jadi penonton dari tumpukan masalah. Tapi ah, mana mungkin? Mana mungkin benda mati ini punya kognisi dan sentiment? Atau mungkin kepekaan manusia-manusia di kampus ini sudah tercerabut dan berpindah ke tembok-tembok ini? Ah, tidak! Tidak mungkin. Ini hanya kerjaan orang-orang iseng. Aku mendekat lagi, tulisan didepanku seperti membesar. Benar-benar membesar. Oh, Tuhan aku sedang berilusi. Ku tutup mataku.

Dan tembok di depanku tiba-tiba putih bersih. Tak ada tulisan apa-apa.

Sabtu, 01 Oktober 2011

Terjemah: Seratus Tahun


            (sebuah terjemahan bebas dari 100 Years, Five for Fighting)


sesaat, usai sertamerta lima belas
di antara sepuluh-duapuluh yang lekas
aku baru saja bermimpi
mengirangira kemana kau melangkah; meretas

sesaat, umur duapuluhdua menyulur
oh dia, kian rekah, kian hibur.
dan kita dipenuhi rasa muda
seumpama baru saja tiba
dari perjalanan hebat ke mars.

di limabelas, masih ada waktu untukmu
buat meraih suatu dan kehilangannya
di limabelas, tiada ingin yang lebih mungkin
sebab, kita cuma punya seratus tahun untuk hidup

sesaat, tigapuluhtiga
masih dengan muda-gempita
namun kau melihatku lain, seperti seorang lain
: seorang bocah jalanan
: sebuah keluarga dalam benakku

Sesaar, empatpuluhlima tiba
Laut memuncak
menuju galau
mengejar tahuntahun yang bergegas

di limabelas, masih ada waktu untukmu
buat meraih suatu; dan kehilangan dirimu
bersama bebintang fajar.

Di limabelas, aku baikbaik saja bersamamu
Di limabelas, tak ada ingin yang lebih mungkin
sebab, kita cuma punya seratus tahun untuk hidup

setengah jalanan usia ditapaki dalam usai
tibatiba kau menjadi bijak. Penuh pijak.
Kerlip mata hidup yang lain
Enampuluhtujuh pergi beranjak
Matahari kian ke puncak
Dan kita bergerak seperti selalu

Sembilanpuluhsembilan, sesaat pulang
Menemui maut, untuk saat setelah.
aku baru saja bermimpi
mengirangira kemana kau melangkah; meretas

limabelas, masih ada waktu untukmu
duapuluhdua, aku pun merasanya
tigapuluhtiga, kau dijalanmu

hari baru datang setiap hari

limabelas, masih ada waktu untukmu
buat meraih suatu dan memilihnya
Oh Di limabelas, tak ada ingin yang lebih mungkin
sebab, kita cuma punya seratus tahun untuk hidup, mungkin?